TUGAS
SEJARAH AFRIKA
KLIPING
KEBUDAYAAN DAN POLITIK DI KAWASAN AFRIKA
(Disusun guna untuk memenuhi tugas
Sejarah Afrika)
(Dosen Pengempu mata kuliah
Drs.Sugianto.M.Hum)
Di
susun oleh:
1.FANDU
DYANGGA PREDETA 100210302003
2.EKA
AULIA PITRI YANA 100210302005
3.NUZUL
IRSAD PURNOMO 100210302019
4.AGENG
PERISTIWA SAKTI 100210302046
5.ERLINDA
RIZKY APRILIA 100210302054
PENDIDIKAN
SEJARAH
ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2012
DAFTAR
ISI
COVER............................................................................................................................i
DAFTAR
ISI...................................................................................................................ii
SUARA
MERDEKA(perekat komunitas jawa tengah)..................................................
KOMPAS.COM(wisata budaya di
asia-afrika)...............................................................
KOMPAS.COM(MUSIK PENGGUGAH KEBUDAYAAN AFRIKA)............................
KOMPAS.COM(peninggalan portugis di
batavia)..........................................................
KOMPAS.COM[mayapada prana]Piramida Mesir : Mahakarya
Manusia Raksasa....
KOMPAS.COM(proses pembuatan piramida mesir).....................................................
SUARA
MERDEKA(budaya mesiryang adi
luhung)....................................................
KOMPAS.COM(siapa yang membuat
piramida)...........................................................
1.Wisata Budaya di Asia
Africa Art & Culture Festival
Peristiwa bersejarah Konferensi Asia Afrika
(1955) direvivitalisasi melalui sudut pandang hubungan seni budaya antarbangsa
Asia Afrika. Gedung Merdeka yang terletak di kota Bandung, menjadi saksi bisu
di mana para pemimpin bangsa-bangsa se-Asia Afrika (1955) menyampaikan
aspirasinya untuk bersatu meraih kemerdekaan bangsanya dari kolonialisasi
bangsa Eropa, serta berupaya membangun stabilitas kehidupan berbangsa dan
bernegara di kawasan Asia dan Afrika yang bebas dan merdeka.
Bandung
pun menjadi ibukota Asia Afrika pada tahun 1955 yang kini diakui oleh
bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Dalam upaya membuka ingatan kolektif dunia,
khususnya bangsa Asia dan Afrika, pemerintah Indonesia dan anggota Konferensi
Asia Africa, menggelar acara peringatan tiap tahunnya di Gedung Merdeka,
Bandung.Pada tahun ini ingatan kolektif masyarakat Asia Afrika menggelar
perhelatan Asia Africa Art & Culture di Gedung Merdeka, Bandung, pada
tanggal 22-24 April 2008. Pada Opening Ceremony dimulai dengan pergelaran seni
budaya Indonesia oleh para penari dan koreografer dari Jawa Barat.
Tidak
hanya itu, para delegasi yang akan mementaskan keseniannya juga ikut melakukan
historical walk dari Hotel Savoy Homann hingga Gedung Merdeka. Kemudian diikuti
oleh ribuan siswa-siswi kelas satu dan dua dari sekolah dasar, sekolah menengah
pertama, serta parade kesenian tradisi Jawa Barat yang organisasi oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Barat.Perhelatan itu menguatkan
penanda persaudaraan bangsa-bangsa Asia Afrika pada tahun ini melalui pertemuan
seni budaya antar bangsa.
“Bandung
memiliki daya tarik objek wisata dunia. Dan kegiatan ini majadi salah satu
upaya untuk mengimplemetasikan kesepakatan Konferensi Asia Afrika (KAA) dengan
melakukan kerjasama di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya antar
bangsa-bangsa Asai Afrika,” jelas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa
Barat, H.I. Budhiyana, di Gedung Merdeka, Bandung, Rabu (23/4) pagi.
Kontingen
negara Asia Afrika yang turut serta dalam perhelatan Asia Africa Art &
Culture Festival antara lain dihadiri oleh senimana dari Mesir dan India,
sementara perwakilan dari Korea Selatan, Jepang, China dan Indonesia dihadiri
oleh seniman muda dan mahasiswa/i Indonesia yang secara khusus mempelajari
kebudayaan bangsa-bangsa tersebut.
Perhelatan
yang digelar pada Rabu (23/4) pagi dihadiri oleh ribuan masyarakat kota Bandung
dan beberapa tamu negara dari Asia Afrika yang turut menyaksikan parade
kesenian Jawa Barat. Sementara seni budaya Indonesia yang dikemas dalam tarian
massal disajikan oleh puluhan penari dari Jawa Barat dengan menampilkan
koreografi yang mengolaborasikan tarian khas Indonesia yang ada dari Sabang
sampai Merauke. Tarian itu juga dikemas dengan busana tradisi elaboratif yang
merupakan kolase warna-warni seni budaya Indonesia.Andri Hadi, Dirjen Informasi
dan Komunikasi Publik, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, menegaskan
bahwa acara yang diprakarsai oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat
beserta Pemda provinsi Jabar ini menguatkan hubungan erat bangsa-bangsa Asia
Afrika yang terlibat dalam KAA pada tahun 1955 hingga sekarang.
“Forum
KAA mempererat hubungan negara Asia Afrika. Solidaritas politik dan kerjasama
sosial budaya pada dasarnya adalah hubungan erat antarmasyarakat Asia Afrika.
People to people contact. Bandung is capital of Asia Africa,” papar Andri Hadi
di Gedung Merdeka, Bandung, Rabu (23/4) pagi.Sementara Gubernur Jabar, Danny
Setiawan mengatakan bahwa perhelatan Asia Africa Art & Culture Festival
adalah komitmen bangsa Indonesia terhadap KAA 1955. perhelatan itu sendiri
merupakan upaya Pemda Jabar dalam merevitalisasi peristiwa bersejarah pada
tahun 1955.Persiapan perhelatan seni budaya itu memang nampak kurang maksimal
dengan berbagai kendala teknis dan kurang signifikannya pengamanan dari aparat
kepolisian. Perhelatan Asia Africa Art & Culture Festival dinilai kurang
publisitas, karena tidak semua masyarakat kota Bandung mengetahui perhelatan
tersebut. Hal ini terlihat dari kurang antusiasnya masyarakat kota Bandung
terhadap peristiwa budaya Asia Afrika tersebut.
Masyarakat
yang datang ke Gedung Merdeka, Jalan Asia-Afrika, Bandung, hanya datang karena
rasa ingin tahu karena kemacetan di jalan-jalan protokol Rabu (23/4) pagi itu.
Antusias para pelajar dalam pawai pelajar di hadapan para delegasi Asia Afrika
terlihat biasa saja.Mereka datang atas intruksi kepala sekolah untuk hadir
dalam perhelatan budaya Asia Afrika tersebut, juga karena panitia pelaksana
kegiatan itu terobsesi untuk mendapatkan award dari Museum Rekor Indonesia
(MURI) dengan harapan jumlah pelajar yang terlibat dalam parade mencapai lebih
dari 5000 siswa. Tapi, hal itu gagal dilakukan karena jumlah yang dimaksud
tidak tercapai.
Pada
Closing Ceremony Asia Africa Art & Culture Festival yang digelar di tempat
dilaksanakannya Konferensi Asia Africa (1955) lebih kurang bagus dalam sajian
kemasan acaranya. Lagi-lagi panitia pelaksana berapologi bahwa kegiatan semacam
ini hanyalah embrio dari kegiatan tahunan. Peringatan KAA akan dikemas dengan
perhelatan seni budaya, melalui gelaran pertunjukan kesenian dan budaya tradisi
dari masing-masing bangsa Asia dan Afrika.Perwakilan seni budaya tradisi dari
negeri Myanmar hanya ditampilkan sebuah rekaman dokumentasi tarian tradisi. Itu
pun tidak dilengkapi nama atau jenis tariannya. Pasalnya, Staf Departemen Luar
Negeri yang menangani kegiatan ini hanya menerima kepingan Compact Disc dari
Konsulat/Kedutaan Myanmar.Kesenian dari negeri Jepang, Korea Selatan, China
ditampilan oleh mahasiswa dan mahasiswi Indonesia yang mempelajari kesenian
tradisi bangsa-bangsa tersebut. Sehingga penonton dan undangan yang menyaksikan
kesenian tersebut terheran-heran karena orang yang membawakan pertunjukan dan
bangsa-bangsa itu orang Indonesia sendiri.Dari tujuh negara yang terlibat dalam
pergelaran di acara Closing Ceremony Asia Africa Art & Culture Festival
pada Kamis (24/4) malam, hanya Mesir dan India yang menyajikan seni tradisinya
dengan serius, artinya bukan orang Indonesia yang menjadi seniman Jepang, Korea
Selatan atau China.
Mesir
menyajikan seni tradisi yang sudah menjadi hiburan masyarakat Mesir saat ini,
yaitu nyanyian yang diiring alat perkusi serta tarian Rumi. Kesenian tersebut
disajikan oleh kelompok seniman yang bernama El nil Muick Tro'ip.Kelompok
seniman itu terdiri dari 8 orang musisi dan penyayi serta satu penari Rumi.
Mereka adalah Adel Sman, Rowd Shisna, Goda Hikal, Salama, Mohammed Elgamel,
Robap Sadk, Mohme Ixlose, dan Anter Engwi.
Kelompok
ini sering tampil di acara resmi kenegaraan Mesir dan seniman keliling yang
biasa dibayar untuk menghibur dalam suatu pesta pernikahan. Penampilan El nil
Muick Tro'ip di Gedung Merdeka, Kamis (24/4) malam, menjadi sorotan para tamu
dan undangan. Selain karena musik, nyanyian dan tarian Rumi yang atraktif
disajikan dengan apik, busana mereka yang khas budaya Timur Tengah mengingatkan
penonton pada suasana bulan suci Ramadhan dan film Ayat-Ayat Cinta.
Suasana
pentas pun berganti dengan nuansa kultur India setelah penayangan profil wisata
negeri Filipina. Tapi bukan film India dalam bentuk pertunjukan pentas, karena
tidak ada tarian dan nyanyian di sana.
Ketika
genjring berbunyi saat sang penari terbaik dari India, Pooja Bhatnagat,
memasuki area pentas dengan pose tarian khas bertemakan Buddha yang berjudul
Khatak karya penari sekaligus koreografernya, yaitu Pooja Bhatnagat.Usai Pooja
Bhatnagat menari solo ia kemudian menari lagi dalam tarian Bharathnalyan karya
Janakhi Shrikanth dengan ditemani para penari lain, antara lain Rupa Manoj,
Shilpi Triphathi, Srishti Tripahthi, Paringdi Pardeshi, Aloy Roy, dan Tera Roy.
Mereka adalah para penari yang dibina oleh Mr. Singh, Direktur Jawaharlal Nehru
Indian Culture Center, Pusat Kebudayaan yang berada di bawah kewenangan
Kedutaan Besar India di Jakarta.Mr. Singh dalam pengantar pertunjukannya
mengatakan bahwa kesempatan ini dapat dimanfaatkan untuk menguatkan hubungan
kultur melalui pertukaran apresiasi seni budaya antara Indonesia dan
India.“Indonesia dan India bisa berbagi kekayaan seni budaya masing-masing
negara sebagaimana spirit Konferensi Asia Afrika yang dirintis oleh Mr.
Jawaharlal Nehru,” kata Mr. Singh di Gedung Merdeka, Bandung, Kamis (24/4)
malam.Closing Ceremony Asia Africa Art & Culture Festival pada Kamis (24/4)
malam itu ditutup dengan pertunjukan kolaboratif yang dipentaskan oleh seniman
Jawa Barat bersama mahasiswa dan mahasiswi yang mewakili bangsa-bangsa anggota
Asia Afrika.Meski perhelatan seni budaya se-Asia Afrika itu berjalan lancar.
Namun panitia penyelanggara yang berasal dari SKPD (Satuan Kerja Pemerintah
Daerah) Jawa Barat dan Departemen Luar Negeri RI, menyesalkan persiapan event
yang tidak terkoordinasi dengan baik jauh-jauh hari.
“Event
ini memang kurang dipersiapkan dengan matang. Saya saja terlibat pada dekat
waktu pelaksanaan. Kepastian anggaran kegiatan ini juga menjadi salah satu
faktor kesuksesan. Tapi hal ini wajar karena baru kali ini peringatan KAA
dilaksanakan dengan format seperti ini,” jelas Boy Worang, salah satu panitia
Asia Africa Art & Culture Festival 2008, di Gedung Merdeka, Bandung, Kamis
(24/4) malam kepada awak KOKTAIL Bandung.Banyak hal yang semestinya tidak
terjadi dalam perhelatan besar itu mengganjal kesuksesan perhelatan tersebut.
Hingga terkesan bahwa perhelatan besar sekelas Asia Afrika tidak jauh berbeda
dengan pesta perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia di lingkungan Rukun Warga
atau Kecamatan di Jawa Barat.Buku acara Asia Africa Art & Culture Festival
yang lengkap dan komprehensif pun tidak ada. Keterangan lengkap mengenai seni
budaya yang ditampilkan mewakili bangsa-bangsa yang terlibat dalam perhelatan
nyaris tidak tersedia, sehingga wartawan yang meliput harus mondar-mandir
meminta keterangan penampil dari peserta festival karena keterangan itu memang
tidak disiapkan sebelumnya.
Perhelatan
Asia Africa Art & Culture Festival yang dinilai bertaraf internasional, meski
pada nyatanya penggarapannya masih lokal itu, menghabiskan anggaran APBD Jawa
Barat sebesar 1,1 miliar rupiah. Sebuah pesta budaya yang cukup besar
menghabiskan anggaran Pemda provinsi Jabar di akhir masa kekuasaan Danny
Setiawan dan Nu’man Abdul Hakim.Akan tetapi hingga bulan Mei 2008 Disbudpar
Prov Jabar belum membayarkan hutang dana kepada panitia kegiatan tersebut di
atas karena mereka menolak potongan pajak 15% di luar perjanjian awal
kesepakatan pelaksanaan kegiatan tersebut.
(Argus
Firmansah/KOKTAIL/Bandung). Posted by
Hoofdredacteur at 03:032.
Selasa, 19 April 2005 WACANA
Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika
Oleh: Chusnan Maghribi
SETENGAH abad lampau, tatkala
kemajuan teknologi informasi belum sehebat dan sepesat sekarang, para founding
fathers Republik ini sudah mampu merangkul 29 negara di Benua Asia dan Afrika
untuk menyatu dalam sebuah perhelatan akbar berskala internasional bernama
Konferensi Asia-Afrika (KAA). Perhelatan itu digelar di Gedung Merdeka,
Bandung, 18-24 April 1955.
KAA 1955 melahirkan Ten Principles of
Bandung (Dasa Sila Bandung). Isinya antara lain menghormati persamaan hak dan
derajat antarbangsa, nonintervensi, penyelesaian sengketa secara damai,
menjunjung tinggi keadilan dan kewajiban internasional, serta meningkatkan
kepentingan dan kerja sama.
Komunike bersama tentang Dasa Sila Bandung,
embrio Non-Alignment Movement (Gerakan Non-Blok) tahun 1961, merupakan sikap
politik negara-negara dua benua ketika merespons situasi dunia yang diliputi
penjajahan, penindasan dan peperangan. Kesepakatan-kesepakatan dalam komunike
tersebut menempatkan negara-negara Asia-Afrika dalam spektrum demokrasi yang
menjunjung tinggi kemerdekaan, perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan secara
universal. Hasilnya, satu demi satu negara Asia-Afrika memperjuangkan dan
memperoleh kemerdekaannya.
Nilai-nilai kemanusiaan universal tadi masih
sangat relevan dalam konteks kekinian yang mencerminkan antipenindasan,
semangat perdamaian, saling menghormati dan pengakuan atas kemerdekaan dan
kedaulatan bangsa/negara.
Di tengah situasi dunia yang tidak adil dengan
dominasi negara-negara maju dewasa ini menjadikan nilai-nilai yang tertuang
dalam Dasa Sila Bandung pantas ditegakkan/dihidupkan kembali. Dan, seiring
perubahan zaman, kesepuluh prinsip itu harus "diremajakan" melalui
kerja sama sosial, ekonomi, budaya, politik dan keamanan antarnegara
Asia-Afrika. Dalam rangka itulah, Indonesia dan Afrika Selatan memrakarsai
penyelenggaraan KAA di Jakarta dan Bandung, kali ini.
Dalam KAA lima hari itu,
negara-negara peserta akan saling bertukar pengalaman dalam menangani berbagai
isu sosial ekonomi, budaya, politik dan keamanan. Di samping itu, KAA 2005 membahas
peluang-peluang dan kemungkinan kerja sama dalam penanganan bencana. Terjadinya
gempa bumi dan tsunami yang dahsyat di Aceh dan negara-negara Asia-Afrika di
pantai Samudera Hindia, mendorong perlunya dilakukan kerja sama dalam
mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana serupa di masa depan.
Sudah Lama Sebenarnya, secara
politis, kerja sama Asia-Afrika sudah berlangsung sejak lama, ditandai
perjuangan bersama melawan kolonialisme-imperialisme, hal itu termanifestasikan
dalam KAA 1955. Namun, interaksi dua kawasan tersebut sejauh ini masih sangat
minimal dan terbatas.
Karena itu, upaya-upaya untuk terus
meningkatkan derajat dan intensitas interaksi antardua kawasan itu merupakan
hal sangat penting untuk diperhatikan bersama. Nilai-nilai yang terkandung
dalam Dasa Sila Bandung, seperti perdamaian, kerja sama dan persahabatan, serta
penghormatan terhadap integritas teritorial dan pengakuan terhadap kesamaan
ras, tetap mengandung makna sangat penting dan kontekstual dalam interaksi
regional dan global dewasa ini. Kerja sama yang sudah terjalin antara Asia dan
Afrika dalam memerangi kolonialisme beberapa dekade lalu masih tetap diperlukan
dan bahkan ditingkatkan guna memerangi "musuh" masa kini, berupa
kemiskinan, beragam penyakit, konflik komunal ataupun perang bersenjata dengan
segala penyebabnya, kolonialisme di bidang sosial ekonomi, budaya dan politik.
Mengenai kemiskinan, Benua Asia dan Afrika tak asing lagi dikenal sebagai
kawasan paling banyak jumlah penduduk miskinnya. Asia-Afrika dengan 107 negara
(lebih dari separo anggota PBB) kini populasinya mencapai 4,6 miliar jiwa atau
73 persen dari total penduduk dunia. Dari jumlah itu, satu miliar di antaranya
hidup di bawah garis kemiskinan. Produk domestik bruto (PDB) Asia-Afrika
mencapai 9,3 triliun dolar AS, kurang lebih sepertiga dari total PDB dunia. PDB
Asia-Afrika sama dengan PDB Amerika Serikat yang hanya berpenduduk 270 juta
jiwa.
Menurut Dirjen Asia Pasifik dan
Afrika Deplu RI, Prof Dr Herijanto Soeprapto, jika Asia-Afrika mampu mengatasi
problem kemiskinan penduduknya, berarti hampir separuh persoalan dunia telah
terselesaikan/teratasi.
Jadi, memang merupakan kebutuhan sangat
penting dan mendesak bagi Asia-Afrika untuk menegakkan atau menghidupkan,
bahkan meremajakan kembali Semangat Bandung 1955, sesuai kondisi sosial,
ekonomi, budaya, politik dan keamanan yang dihadapi kedua kawasan dewasa ini.
Dan, peremajaan kembali Spirit Bandung itu agaknya akan terlihat dalam
Deklarasi tentang Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika (The New Asian-African Strategic
Partnership / NAASP) yang akan diluncurkan di hari terakhir KAA 2005.
Konkret dan Komplementer
Pada intinya, NAASP berisi uraian
mengenai prinsip-prinsip dasar kemitraan strategis baru Asia-Afrika, tujuan dan
sasarannya, substansi kerja sama yang mencakup aspek sosial ekonomi, kultural,
politik, keamanan dan mekanisme kerja sama selanjutnya. NAASP akan difokuskan
pada bentuk kerja sama konkret dan komplementer demi tercapainya perdamaian,
kemakmuran dan stabilitas di kedua benua. Adapun program kerja sama konkret
dalam NAASP meliputi antara lain upaya meningkatkan sumber daya manusia (SDM)
dan kapasitasnya, memperkuat sistem perdagangan multilateral, meningkatkan
kerja sama perdagangan, industri, investasi dan keuangan.
Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika
itu terdiri dari tiga pilar, yaitu antarpemerintah, antarorganisasi
subregional, dan antarkelompok masyarakat (bisnis, akademisi dan masyarakat
madani atau civil society). Untuk itu, perlu diupayakan penguatan kerja sama
antarorganisasi subregional, serupa ASEAN ataupun OAU (Organisasi Afrika Utara)
dan regional, semisal Uni Afrika dalam rangka implementasi proyek-proyek kerja
sama konkret dan komplementer. Kemudian, untuk "mengawal" pelaksanaan
program-program NAASP, pada pertemuan AASROC (Asian-African Sub Regional
Organizations Conference) I di Bandung bulan Juli 2003 telah ditetapkan
mekanisme pertemuan antara kedua benua secara teratur. Yaitu Konferensi Tingkat
Tinggi Asia-Afrika (KTT AA) setiap empat tahun sekali, pertemuan tingkat
menteri tiap dua tahun sekali, dan pertemuan tingkat menteri sektoral yang bisa
dilaksanakan sesuai kebutuhan.
Dengan begitu, event KAA 2005
diharapkan akan benar-benar lebih banyak sisi upaya nyata mewujudkan kerja sama
konkret dan komplementer di banyak bidang dari pada sisi romantika sejarahnya.
(29)-Chusnan Maghribi, peneliti masalah-masalah global di Center of
International Studies, Yogyakarta.
Berita Utama | Ekonomi |
Internasional | Olahraga
Semarang | Sala | Pantura | Muria |
Kedu & DIY | Banyumas
Budaya | Wacana
Cybernews | Berita Kemarin
Copyright© 1996-2004 SUARA MERDEKA
100 Tahun Kebangkitan Nasional
Musik Pun Menggugah Kebangsaan...
| Senin, 15 September 2008 | 01:31 WIB
Oleh Ninok Leksono
"Di samping segala-galanya
(urusan lain-lain—pen), perjuangan untuk Kemerdekaanlah yang harus menjadi
pokok pekerjaan semua orang Indonesia di zaman-zaman kesukaran seperti sekarang
ini." (Ismail Marzuki, dalam ”Minggu Merdeka”, 1/6/1958)
Ucapan itu sendiri keluar dari Bang
Mail—panggilan akrab Ismail Marzuki—semasa pemerintahan bala tentara Dai Nippon
berada dalam kemegahannya; semasa semua segi kehidupan kita—politik, ekonomi,
kebudayaan—harus ditujukan dan dilakukan untuk kepentingan Jepang, dan ”menang
perang” (Asia Timur Raya).
Berarti Bang Mail menyadari bahwa
tujuan utama bermusiknya, semangat yang menggebu untuk mencipta lagu,
sebetulnya untuk mendukung upaya mencapai kemerdekaan. Jadi, tidak mengherankan
kalau banyak dari 202 lagu ciptaannya bercorak romantika perjuangan. Bahkan, ketika
kemerdekaan yang telah dikumandangkan 17 Agustus 1945 itu terancam oleh
kekuatan kolonial yang ingin kembali berkuasa, Ismail terus menggugah semangat
bangsanya melalui lagu-lagu perjuangan, seperti Sepasang Mata Bola (1946) dan
Melati di Tapal Batas (1947).
Penggolong-golongan karya Ismail
dalam tiga periode perjuangan, yakni Hindia-Belanda (1900-1942), Pendudukan
Jepang (1942-1945), dan Revolusi (1945-1950), menyiratkan kentalnya konteks
karya musik komponis kita ini dengan perjuangan. Dalam hal Ismail, karya
pertamanya pun—O Sarinah (1931)—menggunakan judul yang maknanya lebih dari
sekadar nama seorang wanita. Sarinah juga lambang bangsa yang tertindas
penjajah.Ismail tentu tidak sendirian dalam musik bergenre perjuangan ini.
Lainnya, antara lain R Maladi, yang dikenal sebagai pencipta lagu Rangkaian
Melati, dan Di Bawah Sinar Bulan Purnama. Lagu-lagu tersebut ia ciptakan semasa
penjajahan Jepang, 1942-1945. Rangkaian Melati disebut diilhami kisah nyata
seorang putri cantik Solo yang punya kekasih tampan. SN Ratmana di harian ini
(12/2/1978) menulis, sang kekasih ini ditangkap perwira Dai Nippon, lalu
dikirim ke Burma (Myanmar) untuk dijadikan romusa atau heiho.
Syair lagu Di Bawah Sinar Bulan
Purnama sendiri juga simbolik, seperti ”Si Miskin pun yang hidup sengsara,
semalam itu bersuka”. Maladi mengakui, rakyat hidup miskin semasa penjajahan.
Namun, sesekali mereka bisa merasa senang karena kemerdekaan telah membayang,
seperti dilukiskan dalam simbol bulan purnama.Pada lagu Solo di Waktu Malam,
Maladi menulis ”Daun berbisik di tepi sungai”, yang menyimbolkan para pemuda
pejuang yang bertukar pikiran di kawasan Jurug dan Tirtonadi. Namun,
perbincangan para pemuda itu dilakukan dengan berbisik, sementara pada Ombak
Samudra terdapat lirik ”Kapan kau pulang ombak samudra. Kembali ke pantai
bahagia”. Ini juga ekspresi kerinduan pada sesuatu yang membahagiakan, yang
tiada lain adalah kemerdekaan.
Selain simbolisme dan cita-cita,
ciptaan Maladi juga mencoba merekam sejarah. Di Sela-sela Rumput Hijau
merupakan rekaman pemberontakan Peta di Blitar, Februari 1945, di bawah
pimpinan Supriadi. Sementara Ombak Samudra mencatat peristiwa bertolaknya
Soekarno dan Hatta ke Saigon untuk menemui Jenderal Terauchi akhir Juli 1945
dan Nyiur Hijau melukiskan fajar Indonesia Merdeka, yaitu ketika Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia dibentuk awal Agustus 1945.
Memuncaki penggunaan musik untuk
menggelorakan semangat perjuangan menuju kemerdekaan tentu saja kiprah WR
Supratman, yang sudah menggubah Indonesia Raya tahun 1928. Supratman menuliskan
”lagu kebangsaan” di bawah judul Indonesia Raya, hal yang kemudian dilarang
Pemerintah Hindia Belanda. Seperti ditulis Bondan Winarno dalam buku tentang
Indonesia Raya (2003), Gubernur Jenderal Jonkheer de Graeff mungkin saat itu
beralasan, ”Untuk apa ada lagu kebangsaan bagi bangsa yang toh tidak
ada?”Indonesia Raya yang susunan liriknya merupakan soneta (sajak 14
baris)—mengingatkan orang kepada Empu Walmiki ketika menulis epik
Ramayana—segera setelah dikumandangkan menjadi seloka sakti yang mempersatukan
bangsa. Belanda yang lebih suka menyebut bangsa Nusantara sebagai bangsa Jawa,
Sunda, atau Sumatera, tahu potensi lagu ini untuk mempersatukan dan
melarangnya. Tetapi, semakin dilarang, semakin kuatlah lagu ini menjadi
penyemangat dan perekat bangsa.
Nasionalisme melalui musik
Dalam perjalanannya, musik Indonesia
melahirkan satu genre yang dikenal sebagai seriosa. Sebagian mengangkat puisi
penyair termasyhur, seperti Chairil Anwar, sebagai lirik (Cintaku Jauh di
Pulau/FX Soetopo). Di Barat, genre ini dikenal sebagai art song atau lied
(Jerman).
Dalam genre ini banyak pula
terkandung elemen nasional, juga perjuangan. Tetapi, setelah sempat mengalami
kejayaan di dekade 1960-an dan 1970-an, seriosa Indonesia meredup.Kalau
semangat perjuangan melalui musik seriosa cukup ditopang vokalis dan pianis,
semangat sama bisa pula diangkat ke dalam musik orkestra. Meski di Barat
dikenal musik nasional yang hebat seperti Finlandia karya Sibelius dan Moldau
(nama sungai besar yang melewati Praha) karya Smetana, pemusik Indonesia yang
punya tekad dan kapasitas untuk mentransformasikan semangat tersebut ke dalam
musik orkestra adalah mendiang Yazeed Djamin. Setelah menghasilkan musik
orkestra untuk lagu seperti Betawi (Ondel-ondel), Yazeed—atas pesanan mantan
Presiden BJ Habibie—menggubah Variasi Sepasang Mata Bola pada tahun
1999.Terlepas dari warna diatonik pada karya ini, Variasi Sepasang Mata Bola
merupakan upaya untuk menghidup-hidupkan semangat kemerdekaan melalui musik.
Kemerdekaan, sebagaimana musik
nasional yang pada masa lalu ikut membantu kelahirannya, kini sama-sama
berhadapan dengan arus global yang kuat. Namun, dalam tekanan itu pula, melalui
musik nasional selalu menyusup kenangan kebangkitan bangsa.Dalam kaitan ini
pula kita terus merindukan pemusik ulung Indonesia, yang menjawab tantangan
untuk melahirkan musik nasional sehingga kita bisa punya sosok, seperti Vaugh
Williams yang unmistakably Inggris dan Aaron Copland yang tak salah lagi
Amerika.
Komposer besar Italia, G Verdi,
meyakini, ”Tiada hal yang bisa membungkam suara bangsa”. Kini pun, ketika masih
banyak suara hati bangsa yang harus dikumandangkan ketika lidah masih belum
sepenuhnya terampil mengatakannya, musik adalah kanalnya, sebagaimana telah
diperlihatkan Ismail Marzuki, Maladi, dan WR Supratman pada masa
prakemerdekaan.
Peninggalan Portugis di Batavia
| Pingkan | Rabu, 2 Mei 2012 | 11:49 WIB
Warta Kota/ yp yudha
Batavia Pertengahan Abad 16
SEJAK zaman lampau, Nusantara
dipandang merupakan wilayah yang kaya. Karena itu berbagai bangsa asing datang
ke sini untuk jangka waktu lama. Hubungan yang pertama kali dilakukan
antarnegara adalah hubungan dagang. Lama-kelamaan hubungan itu berkembang
menjadi hubungan sosial (misalnya perkawinan) dan hubungan politik (misalnya
invasi atau penjajahan).Negara kita banyak didatangi bangsa asing, terutama
dari Eropa, karena rempah-rempah kita dinilai berkualitas tinggi. Rempah-rempah
sangat dibutuhkan oleh negeri beriklim dingin, sehingga berbagai bangsa Eropa
itu berupaya mencari sendiri ke sini. Selain Belanda yang selama 350 tahun
menjajah negara kita, jejak Portugis pun banyak dijumpai dalam berbagai ujud.
Bangsa Portugis memang dikenal sebagai bangsa pelayar dan petualang yang
tangguh.
Masa ekspansi kolonial Portugis
dimulai pada 1385 ketika John I mendirikan Dinasti Aviz. Pada abad XVI daerah
jajahan Portugis meliputi Amerika Selatan, Afrika, Asia Selatan, dan Asia
Tenggara. Diperkirakan, timbulnya kolonialisme Portugis dimulai oleh
"mimpi" seorang Pangeran bernama Dom Henrique, untuk mencari
"dunia baru". Dia meninggalkan istana dan mendirikan sekolah nautika
di Portugis Selatan. Di sana dia mengundang para ahli geografi dan kartografi
terbaik Eropa. Dengan uangnya sendiri lalu dia membentuk sebuah armada kapal
yang pergi berlayar mencari "dunia baru" tadi.
Pada awalnya mereka berhasil melewati
Tanjung Harapan di Afrika. Maka rute ke wilayah Timur pun terbuka dan dalam
sekejap tujuan-tujuan komersial memperkuat jiwa petualangan bangsa Portugis
itu. Ketika mereka tiba di Goa, India, mereka mulai menyadari betapa pentingnya
perdagangan rempah-rempah.
Setelah berhasil merebut Malaka di
Malaysia pada 1511, maka Albuquerque mengirim sebuah ekspedisi untuk mencari
Maluku. Dari sanalah Portugis mulai melakukan ekspansi ke seluruh wilayah Indonesia
(Pengaruh Portugis di Indonesia, 2000). Dari rempah-rempah lalu berkembang
menjadi hubungan militer, kebudayaan, etnis, komersial, dan agama.
Masa kolonialisasi Portugis di
Indonesia antara lain dapat ditelusuri lewat tulisan seorang pengelana bernama
Tome Pires. Catatan Pires banyak dipakai untuk merekonstruksi sejarah Indonesia
pada abad XV. Tulisannya, Suma Oriental (Perjalanan ke Timur), dibukukan di
London pada 1944.Catatan Pires yang dinilai penting antara lain tentang adanya
Kerajaan Sunda di Jawa Barat (regno de cumda). Begitu pula tentang asal mula
kota Jakarta, yang sampai kini masih menjadi polemik. Ketika itu, menurut
Pires, pada 1522 di Sunda Kalapa, Portugis menandatangani perjanjian dengan
pangeran setempat. Hasil kerja sama itu diujudkan dalam sebuah padrao. Padrao
adalah sebuah tiang batu setinggi kira-kira dua meter, dengan suatu inskripsi
yang menyatakan bahwa orang Portugis telah lewat di situ.