Selasa, 29 Mei 2012

sejarah agraria




MASALAH PERTANAHAN SETELAH KEMERDEKAAN INDONESIA
(Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Agraria)
(Dosen Pengampu Mata Kuliah Drs.Soetjitro.M.Si)

Oleh:
 Kelompok 8

NARA SETYA WIRATAMA        100210302001
FANDU DYANGGA PREDETA   100210302003
EKA AULIA PITRI YANA                        100210302005
NUZUL IRSYAD PURNOMO       100210302019
ERLINDA RIZKY APRILIA         100210302054




PROGRAM STUDI SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2012

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Sistem Pertanahan Setelah kemerdekaan Indonesia.”
Makalah ini berisikan tentang informasi Sistem Pertanahan Setelah Kemerdekaan Indonesia, yang nantinya penulis berharap para pembaca dapat mendapat informasi dan memperdalam pengetahuan tentang Sistem Pertanahan Setelah Kemerdekaan Indonesia.
Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan Makalah ini. Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

                                                                                                                                                                                                                                                                                    Penulis










BAB I.PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Kekayaan Indonesia dari hasil pertanian menjadi sumber kekayaan rakyat,karena politik pertanahan dipegang oleh kaum penjajah. Rakyat hanya menjadi alat untuk menghasilkan dari tanah itu. Rakyat terus menderita di atas tanahnya yang subur dan kaya. Rakyat kelaparan di atas timbunan hasil bumi. Rakyat miskin di atas kekayaan alam yang melimpah ruah. kehadiran Jepang telah memberi inspirasi tersendiri bagi bangsa Indonesia. Belanda yang pada mulanya dianggap rakyat tidak dapat diganggu kedaulatannya, ternyata bisa dikalahkan dengan mudah oleh Jepang. Hal ini telah membuka pikiran dan menimbulkan perasaan harga diri bahwa Belanda bisa dikalahkan dan begitu juga Jepang hingga bangsa Indonesia mampu melucuti Jepang beberapa tahun kemudian.
Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945 persoalan agraria tidak serta-merta terselesaikan secara menggembirakan. Kemerdekaan politik itu tidak membawa dampak riil bagi masyarakat dalam mengakses tanah secara adil. Dalam salah satu klausul perjanjian Konferensi Meja Mundar (KMB) Belanda bahkan meminta jaminan atas tanah-tanah perkebunan (onderneming) yang masih dikuasainya sebagai salah satu ”kompensasi” penyerahan kedaulatan terhadap Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
 1. Bagaimana system pertanahan setelah Indonesia merdeka?
 2. Bagaimana keadaan system politik agararia setelah kemerdekaan?
 3. Bagaimana Penataan dari system pertanahan setelah kemerdekaan?


1.3Tujuan
 1. Mengetahui system pertanahan setelah Indonesia merdeka
 2. Mengetahui keadaan system politik agararia setelah kemerdekaan
 3. Mengetahui Penataan dari system pertanahan setelah kemerdekaan






















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sistem Pertanahan Setelah Kemederkaan Indonesia
            Selama masa Kemerdekaan (1945-2004) urusan pertanahan/agraria diselenggarakan oleh Kementrian/Departemen.Dalam Negeri selama 25 tahun, dan diselenggarakan oleh lembaga pertanahan/agraria tersendiri selama 34 tahun yang meliputi:Kementeri/Kantor Menteri Negara Agraria selama 22 tahun, dan BPN(LPND) selama 12 tahun.
Baik pemerintahan Presiden Soekarno maupun pemerintahan Presiden Suharto pada awalnya menganggap bahwa urusan pertanahan/agraria belum merupakan urusan strategis sehingga cukup diselenggarakan oleh suatu lembaga di bawah Kementrian/Departemen, namun pada akhirnya kedua pemerintahan tersebut sama-sama menyadari bahwa pertanahan/agraria merupakan urusan strategis sehingga ditangani oleh satu Kementrian/Departemen, bahkan pada akhir pemerintahan Presiden Suharto pertanahan/agraria ditangani oleh dua unit organisasi yang
tangguh yaitu BPN untuk urusan pelayanan kepada masyarakat danKantor Menteri Negara Agraria untuk urusan yang bersifat arahan.
Pemerintahan Presiden Habibie melanjutkan kebijakan pertanahan/agraria yang telah diselenggarakan oleh Presiden Suharto.Meskipun urusan pertanahan/agraria semakin hari semakin strategis dan selalu meningkat kompleksitasnya, namun baik pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid maupun pemerintahan Presiden Megawati sampai sekarang mengangap urusan pertanahan/agraria cukup ditangani oleh LPND dan BPN, semacam organisasi pertanahan/agraria pada Kabinet Pembangunan IV dan Kabinet Pembangunan IV pada pemerintahan Presiden Suharto. Selain itu, dengan diberlakukannya Undang No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi) mengakibatkan timbulnya friksi antara kekuatan politik yang menghendaki penerapan otonomi daerah sekaligus (drastis) dengan kekuatan politik yang menghendaki penerapan otonomi daerah secara bertahap. Hal ini berdampak pada tarik ulurnya pembagian wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah dan pemerintah daerah, terutama pemerintah daerah kabupaten dan kota, dan berdampak pada gunjang-ganjingnya bentuk organisasi pemerintah terutama LPND,termasuk BPN. Hal tersebut mengakibatkan, pada tahun-tahun terakhir ini, BPN kurang dapat mengembangkan kreativitasnya secara maksimal dalam mencapai visi dan melaksanakan misi yang diembannya. Dengan dibentuknya Kabinet Presiden Abdurrachman Wahid pada tahun 1999, maka dengan serta merta Lembaga Menteri Negara Agraria dibubarkan yang dapat diartikan sebagai memperlemah kemampuan institusi pertanahan/agraria, dan yang kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati,
dengan menerbitkan berbagai Keputusan Presiden (Keppres) dan keputusan lainnya mengenai dan/atau yang berpengaruh pada penyelenggaraan pertanahan/agraria, yang tujuannya untuk penyempurnaan melalui perubahan tugas pokok dan misi, serta susunan organisasi LPND dan/atau BPN. Di samping organisasi pertanahan/agraria diciutkan, juga pada pemerintahan dua presiden terakhir ini terjadi tarik ulur antara dua kekuatan politik dalam hal penerapan otonomi pertanahan/agraria yang satu menghendaki dilakukan sekaligus dan lainnya dilakukan bertahap, yang berdampak pada gunjang-ganjingnya dan perubahan Keppres terutama yang berkaitan dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab, serta organisasi pertanahan/agraria. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan, pada tahun-tahun terakhir ini, BPN selaku pengemban tugas di bidang pertanahan/agraria, tidak dapat mengembangkan kreasinya secara penuh dalam rangka mencapai
visi dan melaksanakan misinya.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), misalnya, mencatat bahwa pendekatan kekerasan dan teror masih sering dilakukan pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria. Untuk tahun ini saja, misalnya, KPA telah merekam 89 laporan kasus konflik agraria dengan luas sengketa 133.278,79 Ha dan korban langsung dari sengketa ini tidak kurang dari 7.585 KK. Ini tetap saja angka minimal, sebab metode yang dipakai dalam pendataan ini berdasarkan kasus yang dilaporkan oleh masyarakat kepada KPA dan direkam oleh KPA melalui pemberitaan media massa. Menyeruaknya beragam kasus dan konflik agraria memang perlu segera diantisipasi dan diselesaikan secara serius. Ahli hukum pertanahan UGM, Maria SW Sumardjono menilai bahwa permasalahan tanah selalu saja timbul karena kompleksitasnya persoalan tanah selalu terkait banyak aspek. Tanah sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan papan dan pangan serta merupakan sumber daya alam yang langka itu menjadi rentan diperebutkan oleh banyak pihak. Menurut Maria, persoalan ini selalu timbul karena kita belum memiliki disain reforma agraria yang baik yang bisa menuntun kita menemukan jalan keluar yang adil bagi para pihak. Dalam konteks inilah, deskripsi historis yang cukup lengkap yang diulas dalam buku ini mengajak kita untuk lebih arif memahami dan menyelesaikan persoalan agraria secara lebih komprehensif dengan melihat kompleksitasnya persoalan pertanahan secara simultan.
Dengan berkaca pada ragam pengalaman pengaturan pertanahan mulai zaman feodal hingga masa kolonial, Tauchid mengingatkan betapa pentingnya reforma agraria dilakukan oleh pemerintah nasional saat Indonesia merdeka. Namun justru bayang-bayang feodalisme dan kolonialisme itu terlalu kuat sehingga pemerintah Indonesia justru sulit keluar dari jeratan bayang-bayang itu. Ini tampak antara lain dari peraturan pertanahan yang masih banyak mengadopsi ordonansi Belanda. Demikian pula perilaku birokrasi terkait penanganan persoalan pertanahan agaknya masih membawa aroma feodalisme dan kolonialisme.

2.2 Pemetaan Bidang Tanah
Melonjaknya kasus sengketa pertanahan dan kendala proses pengadaan tanah selain membutuhkan penegakan hukum juga dibutuhkan sistem informasi pertanahan yang andal. Ini penting agar semua aspek pertanahan bisa dikelola dengan baik. Dalam era globalisasi, system informasi pertanahan juga sangat berguna untuk menentukan pola spasial aktivitas perekonomian. Pola spasial itu berbasis geographical information system (GIS) dengan factor interoperabilitas yang baik.
Tata kelola pertanahan yang baik sangat memerlukan sistem informasi pertanahan yang terintegrasi dan mudah diakses. Saat ini bidang tanah belum dapat dipetakan secara menyeluruh dan terintegrasi. Diperlukan suatu alternatif atau terobosan yang dapat membantu mempercepat pemetaan bidang tanah serta pengintegrasian peta bidang tanah yang sudah dibuat sebelumnya. Agar dapat menginventarisasi seluruh bidang tanah maka kegiatan pemetaan tidak hanya dilakukan untuk bidang tanah yang sudah didaftarkan tetapi perlu menginventarisasi bidang tanah yang belum didaftarkan.
Sistem informasi pertanahan dapat digunakan sebagai kadaster multiguna di daerah. Kadaster multiguna mengandung pengertian sebagai himpunan data dalam skala besar dari sistem informasi pertanahan yang berorientasi pada masyarakat dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan yang lebih luas. Pemetaan tanah pada saat itu masih berkonflik untuk menentukan kepemilikan. Pada tanggal 30 Juli 1953 dalam susunan Kabinet Ali-Wongso-Arifin dibentuk Kementrian Negara Agraria. Namun alih tugas dan wewenang Agraria dari Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Negara Agraria baru dilaksanakan pada tahun 1958 berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1958. Mengenai hal ini, belum diperoleh penjelasan. Selanjutnya pada tahun 1964 berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1964 ditetapkan tugas, susunan, dan pimpinan Kementrian Agraria, di mana di dalamnya terdapat Direktorat Land use di tingkat pusat dan Kantor Inspeksi Land use di tingkat daerah. Setelah 12 tahun Kementrian Agraria berkiprah,berdasarkan pertimbangan efisiensi, pada tahun 1965 kementrian tersebut dirubah statusnya menjadi Direktorat Jenderal Agraria di lingkungan Kementrian Dalam Negeri, yang diikuti dengan penyatuan instansi agraria di daerah pada tahun 1972. Penatagunaan tanah menjadi tugas, wewenang dan tanggung jawab Direktorat Tataguna Tanah. Instansi agraria di daerah secara operasional bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, sedangkan secara teknis-administratif bertanggungjawab kepada Menteri Dalam Negeri.

2.3 Penataan  system pertanahan setelah kemerdekaan
            Penataan ruang hadir secara formal sejak tahun 1992 ketika diberlakukannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Produk penataan ruang adalah rencana dan pelaksanaan tata ruang, serta pengendalian pelaksanaan tata ruang yang isinya meliputi penetapan kawasan lindung dan budidaya, pemanfaatan kawasan budidaya oleh sektor-sektor unggulan, pusat-pusat permukiman perkotaan dan perdesaan, sistem jaringantransportasi, sistem prasarana lainnya (non-transportasi), dan program sektor prioritas, serta program kawasan strategis.Tampak di sini bahwa dalam hal pemanfaatan permukaan tanah ada kesamaan antara penataan ruang dengan penatagunaan tanah berdasarkan UUPA (32 tahun sebelum Undang-undang Penataan Ruang) sebagai mana diuraikan di atas, namun cakupan pertimbangan fisik pemanfaatan tanah, penataan ruang lebih luas dari pada penatagunaan tanah, dan hal ini sesuai ketetapan undang-undang penataan ruang yang menyatakan bahwa penatagunaan tanah, penatagunaan air, dan semacamnya merupakan subsistem dari penataan ruang.Undang-undang Penataan Ruang menetapkan tiga tingkatan rencana tata ruang yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditetapkan berdasarkan Keppres diperbaharui setiap 15 tahun, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah diperbaharui setiap 10 tahun, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah diperbaharui setiap 5 tahun. Tingkatan-tingkatan tersebut berlaku pula untuk Tataguna Tanah,tetapi penyelenggaraanya berbeda yaitu dalam hal rencana tata ruang diotonomikan, sedangkan dalam hal rencana Tataguna Tanah didekonsentrasikan.Dalam hal pemanfaatan fisik tanah, pada penataan ruanglebih menekankan pertimbangan aspek-aspek Poleksosbudhankamnas7, namun berbeda halnya pada penatagunaan tanah yang lebih menekankan aspek-aspek legalitas dan kepemilikan hak atas tanah.Dalam penyusunan penataan ruang, instansi berbagai sektor (termasuk sektor pertanahan) menyiapkan masukannya masing-masing untuk diolah secara terintegrasi dan holistik menjadi sebuah rencana tata ruang. Rencana tata ruang tersebut tidak akan mampu menampung seratus persen masukan aspirasi masing-masing sektor, dan oleh karena itu bila rencana tata ruang tersebut telah mempunyai status hukum maka masing-masing sector menterjemahkannya menjadi dalam bentuk aspirasi sektornya masing-masing yang berbeda dengan aspirasi semula sebagaimasukan, dan selanjutnya dijadikan acuan bagi pembangunan sector dan program sektor terkait. Baik penyusunan rencana tata ruang, maupun penyusunan rencana tata guna tanah melalui proses bertingkat disektornya masing-masing secara iteratif yaitu “bottomup”dan “top-down”8 Sehubungan dengan Keterkaitan Penataan Ruang dengan Penatagunaan Tanah, dijumpai kasus-kasus sebagai berikut :Efektifitas Penataan Ruang. Ada beberapa hal teknis rasional yang menyebabkan suatu penataan ruang tidak efektif yaitu:• Karena berbagai hal “customer” penataan ruang tidak mampu dan/atau tidak mau mentaati rencana tata ruang, meskipun perbuatan tidak mentaati baik tidak mampu maupun tidak mau tersebut adalah perbuatan yang melanggar hukum; Sebahagian atau semua dari satu atau lebih sumberdaya manajemen penataan ruang (waktu, dana, tenaga kerja, alat, bahan, dan informasi) kurang memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas, atau bahkan tidak tersedia sama sekali;• Tanah yang digunakan dalam penataan ruang tidak dikuasai secara fisik dan tidak dimiliki secara hukum oleh pelaku penataan ruang. Sebagai contoh pada kasus para pengembang yang menguasai secara fisik dan memiliki secara hukum tanah yang akan digunakannya, mereka dapat membangunan fisik di kawasan tanah miliknya secara  efektif seabagaimana telah direncanakan;• Karena berbagai sebab penyelenggaraan penataan ruang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pertanahan.








BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Kekayaan Indonesia dari hasil pertanian menjadi sumber kekayaan rakyat,karena politik pertanahan dipegang oleh kaum penjajah. Rakyat hanya menjadi alat untuk menghasilkan dari tanah itu. Rakyat terus menderita di atas tanahnya yang subur dan kaya. Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945 persoalan agraria tidak serta-merta terselesaikan secara menggembirakan.
            Kaitan antara penataan ruang dengan penatagunaan tanah sangat erat satu dengan lainnya saling mempengaruhi yang sama-sama berkekuatan hukum dalam kerangka meningkatkan kesejahteraan dan melindungi masyarakat. Agar tidak terjadi rencana yang bertentangan denganperaturan perundang-undangan yang berlaku, umpamanya rencana penataan ruang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pertanahan, dan umpamanya instansi pertanahan yang dianggap menghambat penataan ruang, kiranya instansi yang bertanggungjawab di bidang penataan ruang dan di bidang penatagunaan tanah, serta instansi lainnya yang terkait, melakukan komunikasi dan kerjasama yang lebih erat melalui suatu siklus iterasi yang dipercepat.














DAFTAR PUSTAKA

           
Setiawan, Usep “Menjaring Komitmen Demi Keadilan Agraria”, dalam Kompas: Edisi 17 November 2003.
Sumardjono, Maria SW (2008). Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Tauchid, Mochammad (2007) Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Pewarta, Yogyakarta.
Wiradi, Gunawan (2009). Reforma Agraria: Dari Desa ke Agenda Bangsa, IPB Press, Bogor.
Wiradiputra, RA (1952). Agraria (Hukum Tanah), Penerbit Jambatan, Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar