MASALAH
PERTANAHAN SETELAH KEMERDEKAAN INDONESIA
(Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Agraria)
(Dosen Pengampu Mata Kuliah Drs.Soetjitro.M.Si)
Oleh:
Kelompok 8
NARA
SETYA WIRATAMA 100210302001
FANDU
DYANGGA PREDETA 100210302003
EKA
AULIA PITRI YANA 100210302005
NUZUL
IRSYAD PURNOMO 100210302019
ERLINDA
RIZKY APRILIA 100210302054
PROGRAM
STUDI SEJARAH
JURUSAN
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Sistem Pertanahan Setelah
kemerdekaan Indonesia.”
Makalah ini
berisikan tentang informasi Sistem Pertanahan Setelah Kemerdekaan Indonesia,
yang nantinya penulis berharap para pembaca dapat mendapat informasi dan
memperdalam pengetahuan tentang Sistem Pertanahan Setelah Kemerdekaan Indonesia.
Penulis menyadari
bahwa Makalah ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan Makalah ini. Akhir kata,
penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan Makalah
ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha
kita. Amin.
Penulis
BAB I.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kekayaan Indonesia dari hasil pertanian menjadi sumber
kekayaan rakyat,karena politik pertanahan dipegang oleh kaum penjajah. Rakyat
hanya menjadi alat untuk menghasilkan dari tanah itu. Rakyat terus menderita di atas tanahnya yang subur dan
kaya. Rakyat kelaparan di atas timbunan hasil bumi. Rakyat miskin di atas
kekayaan alam yang melimpah ruah. kehadiran Jepang telah memberi inspirasi tersendiri bagi
bangsa Indonesia. Belanda yang pada mulanya dianggap rakyat tidak dapat
diganggu kedaulatannya, ternyata bisa dikalahkan dengan mudah oleh Jepang. Hal
ini telah membuka pikiran dan menimbulkan perasaan harga diri bahwa Belanda
bisa dikalahkan dan begitu juga Jepang hingga bangsa Indonesia mampu melucuti
Jepang beberapa tahun kemudian.
Ketika Indonesia memproklamirkan
kemerdekaan 17 Agustus 1945 persoalan agraria tidak serta-merta terselesaikan
secara menggembirakan. Kemerdekaan politik itu tidak membawa dampak riil bagi
masyarakat dalam mengakses tanah secara adil. Dalam salah satu klausul
perjanjian Konferensi Meja Mundar (KMB) Belanda bahkan meminta jaminan atas
tanah-tanah perkebunan (onderneming) yang masih dikuasainya sebagai
salah satu ”kompensasi” penyerahan kedaulatan terhadap Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana system pertanahan setelah Indonesia merdeka?
2. Bagaimana keadaan system politik agararia
setelah kemerdekaan?
3. Bagaimana Penataan dari system pertanahan
setelah kemerdekaan?
1.3Tujuan
1.
Mengetahui system pertanahan setelah Indonesia merdeka
2. Mengetahui keadaan system politik agararia
setelah kemerdekaan
3. Mengetahui Penataan dari system pertanahan
setelah kemerdekaan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Pertanahan
Setelah Kemederkaan Indonesia
Selama masa Kemerdekaan
(1945-2004) urusan pertanahan/agraria diselenggarakan oleh
Kementrian/Departemen.Dalam Negeri selama 25 tahun, dan diselenggarakan oleh
lembaga pertanahan/agraria tersendiri selama 34 tahun yang meliputi:Kementeri/Kantor
Menteri Negara Agraria selama 22 tahun, dan BPN(LPND) selama 12 tahun.
Baik pemerintahan Presiden
Soekarno maupun pemerintahan Presiden Suharto pada awalnya menganggap bahwa urusan
pertanahan/agraria belum merupakan urusan strategis sehingga cukup diselenggarakan
oleh suatu lembaga di bawah Kementrian/Departemen, namun pada akhirnya kedua
pemerintahan tersebut sama-sama menyadari bahwa pertanahan/agraria merupakan
urusan
strategis sehingga ditangani oleh satu Kementrian/Departemen, bahkan pada akhir
pemerintahan Presiden Suharto pertanahan/agraria ditangani oleh dua unit
organisasi yang
tangguh yaitu BPN untuk urusan pelayanan kepada masyarakat
danKantor Menteri Negara Agraria untuk urusan yang bersifat arahan.
Pemerintahan Presiden Habibie
melanjutkan kebijakan pertanahan/agraria yang telah diselenggarakan oleh
Presiden Suharto.Meskipun urusan pertanahan/agraria semakin hari semakin strategis
dan selalu meningkat kompleksitasnya, namun baik pemerintahan Presiden
Abdurachman Wahid maupun pemerintahan Presiden Megawati sampai sekarang
mengangap urusan pertanahan/agraria cukup ditangani oleh LPND dan BPN, semacam organisasi
pertanahan/agraria pada Kabinet Pembangunan IV dan Kabinet Pembangunan IV pada
pemerintahan Presiden Suharto. Selain itu, dengan diberlakukannya Undang No. 22
tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi) mengakibatkan timbulnya
friksi antara kekuatan politik yang menghendaki penerapan otonomi daerah
sekaligus (drastis) dengan kekuatan politik yang menghendaki penerapan otonomi
daerah secara bertahap. Hal ini berdampak pada tarik ulurnya pembagian wewenang
dan tanggung jawab antara pemerintah dan pemerintah daerah, terutama pemerintah
daerah kabupaten dan kota, dan berdampak pada gunjang-ganjingnya bentuk
organisasi pemerintah terutama LPND,termasuk BPN. Hal tersebut mengakibatkan,
pada tahun-tahun terakhir ini, BPN kurang dapat mengembangkan kreativitasnya secara
maksimal dalam mencapai visi dan melaksanakan misi yang diembannya. Dengan
dibentuknya Kabinet Presiden Abdurrachman Wahid pada tahun 1999, maka dengan
serta merta Lembaga Menteri Negara Agraria dibubarkan yang dapat diartikan
sebagai memperlemah kemampuan institusi pertanahan/agraria, dan yang kemudian
dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati,
dengan menerbitkan berbagai Keputusan Presiden (Keppres) dan keputusan
lainnya mengenai dan/atau yang berpengaruh pada penyelenggaraan
pertanahan/agraria, yang tujuannya untuk penyempurnaan melalui perubahan tugas
pokok dan misi, serta susunan organisasi LPND dan/atau BPN.
Di
samping organisasi pertanahan/agraria diciutkan, juga pada pemerintahan dua
presiden terakhir ini terjadi tarik ulur antara dua kekuatan politik dalam hal
penerapan otonomi pertanahan/agraria yang satu menghendaki dilakukan sekaligus
dan lainnya dilakukan bertahap, yang berdampak pada gunjang-ganjingnya dan
perubahan Keppres terutama yang berkaitan dengan tugas, wewenang, dan tanggung
jawab, serta organisasi pertanahan/agraria. Hal ini pada gilirannya
mengakibatkan, pada tahun-tahun terakhir ini, BPN selaku pengemban tugas di
bidang pertanahan/agraria, tidak dapat mengembangkan kreasinya secara penuh
dalam rangka mencapai
visi dan melaksanakan misinya.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), misalnya, mencatat
bahwa pendekatan kekerasan dan teror masih sering dilakukan pemerintah dalam
penyelesaian konflik agraria. Untuk tahun ini saja, misalnya, KPA telah merekam
89 laporan kasus konflik agraria dengan luas sengketa 133.278,79 Ha dan korban
langsung dari sengketa ini tidak kurang dari 7.585
KK. Ini tetap saja angka minimal,
sebab metode yang dipakai dalam pendataan ini berdasarkan kasus yang dilaporkan
oleh masyarakat kepada KPA dan direkam oleh KPA melalui pemberitaan media
massa. Menyeruaknya
beragam kasus dan konflik agraria memang perlu segera diantisipasi dan
diselesaikan secara serius. Ahli hukum pertanahan UGM, Maria SW Sumardjono
menilai bahwa permasalahan tanah selalu saja timbul karena kompleksitasnya
persoalan tanah selalu terkait banyak aspek. Tanah sebagai sarana pemenuhan
kebutuhan dasar manusia akan papan dan pangan serta merupakan sumber daya alam
yang langka itu menjadi rentan diperebutkan oleh banyak pihak. Menurut Maria,
persoalan ini selalu timbul karena kita belum memiliki disain reforma agraria
yang baik yang bisa menuntun kita menemukan jalan keluar yang adil bagi para
pihak. Dalam konteks inilah, deskripsi historis yang cukup lengkap yang diulas
dalam buku ini mengajak kita untuk lebih arif memahami dan menyelesaikan persoalan
agraria secara lebih komprehensif dengan melihat kompleksitasnya persoalan
pertanahan secara simultan.
Dengan berkaca pada ragam pengalaman
pengaturan pertanahan mulai zaman feodal hingga masa kolonial, Tauchid
mengingatkan betapa pentingnya reforma agraria dilakukan oleh pemerintah
nasional saat Indonesia merdeka. Namun justru bayang-bayang feodalisme dan
kolonialisme itu terlalu kuat sehingga pemerintah Indonesia justru sulit keluar
dari jeratan bayang-bayang itu. Ini tampak antara lain dari peraturan
pertanahan yang masih banyak mengadopsi ordonansi Belanda. Demikian pula
perilaku birokrasi terkait penanganan persoalan pertanahan agaknya masih
membawa aroma feodalisme dan kolonialisme.
2.2 Pemetaan Bidang Tanah
Melonjaknya kasus
sengketa pertanahan dan kendala proses pengadaan tanah selain membutuhkan
penegakan hukum juga dibutuhkan sistem informasi pertanahan yang andal. Ini
penting agar semua aspek pertanahan bisa dikelola dengan baik. Dalam era
globalisasi, system informasi pertanahan juga sangat berguna untuk menentukan
pola spasial aktivitas perekonomian. Pola spasial itu berbasis geographical information system (GIS) dengan factor interoperabilitas yang baik.
Tata kelola pertanahan
yang baik sangat memerlukan sistem informasi pertanahan yang terintegrasi dan
mudah diakses. Saat ini bidang tanah belum dapat dipetakan secara menyeluruh
dan terintegrasi. Diperlukan suatu alternatif atau terobosan yang dapat
membantu mempercepat pemetaan bidang tanah serta pengintegrasian peta bidang
tanah yang sudah dibuat sebelumnya. Agar dapat menginventarisasi seluruh bidang
tanah maka kegiatan pemetaan tidak hanya dilakukan untuk bidang tanah yang
sudah didaftarkan tetapi perlu menginventarisasi bidang tanah yang belum
didaftarkan.
Sistem informasi pertanahan dapat digunakan sebagai
kadaster multiguna di daerah. Kadaster multiguna mengandung pengertian sebagai
himpunan data dalam skala besar dari sistem informasi pertanahan yang
berorientasi pada masyarakat dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan yang lebih
luas. Pemetaan tanah pada saat itu masih berkonflik untuk menentukan
kepemilikan. Pada tanggal 30 Juli 1953 dalam susunan Kabinet
Ali-Wongso-Arifin dibentuk Kementrian Negara Agraria. Namun alih tugas dan
wewenang Agraria dari Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Negara Agraria baru
dilaksanakan pada tahun 1958 berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1958.
Mengenai hal ini, belum diperoleh penjelasan. Selanjutnya pada tahun 1964 berdasarkan
Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1964 ditetapkan tugas, susunan, dan
pimpinan Kementrian Agraria, di mana di dalamnya terdapat Direktorat Land use
di tingkat pusat dan Kantor Inspeksi Land use di tingkat daerah. Setelah 12
tahun Kementrian Agraria berkiprah,berdasarkan pertimbangan efisiensi, pada
tahun 1965 kementrian tersebut dirubah statusnya menjadi Direktorat Jenderal
Agraria di lingkungan Kementrian Dalam Negeri, yang diikuti dengan penyatuan instansi
agraria di daerah pada tahun 1972. Penatagunaan tanah menjadi tugas, wewenang
dan tanggung jawab Direktorat Tataguna Tanah. Instansi agraria di daerah secara
operasional bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota dalam kedudukannya sebagai
wakil pemerintah pusat di daerah, sedangkan secara teknis-administratif
bertanggungjawab kepada Menteri Dalam Negeri.
2.3 Penataan system pertanahan setelah kemerdekaan
Penataan
ruang hadir secara formal sejak tahun 1992 ketika diberlakukannya Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Produk penataan ruang adalah
rencana dan pelaksanaan tata ruang, serta pengendalian pelaksanaan tata ruang yang
isinya meliputi penetapan kawasan lindung dan budidaya, pemanfaatan kawasan
budidaya oleh sektor-sektor unggulan, pusat-pusat permukiman perkotaan dan
perdesaan, sistem jaringantransportasi, sistem prasarana lainnya (non-transportasi),
dan program sektor prioritas, serta program kawasan strategis.Tampak di sini
bahwa dalam hal pemanfaatan permukaan tanah ada kesamaan antara penataan ruang
dengan penatagunaan tanah berdasarkan UUPA (32 tahun sebelum Undang-undang Penataan
Ruang) sebagai mana diuraikan di atas, namun cakupan pertimbangan fisik pemanfaatan
tanah, penataan ruang lebih luas dari pada penatagunaan tanah, dan hal ini
sesuai ketetapan undang-undang penataan ruang yang menyatakan bahwa
penatagunaan tanah, penatagunaan air, dan semacamnya merupakan subsistem dari
penataan ruang.Undang-undang Penataan Ruang menetapkan tiga tingkatan rencana
tata ruang yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditetapkan berdasarkan
Keppres diperbaharui setiap 15 tahun, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah diperbaharui setiap 10 tahun, dan Rencana
Tata Ruang Wilayah Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan Peraturan
Daerah diperbaharui setiap 5 tahun. Tingkatan-tingkatan tersebut berlaku pula
untuk Tataguna Tanah,tetapi penyelenggaraanya berbeda yaitu dalam hal rencana
tata ruang diotonomikan, sedangkan dalam hal rencana Tataguna Tanah didekonsentrasikan.Dalam
hal pemanfaatan fisik tanah, pada penataan ruanglebih menekankan pertimbangan
aspek-aspek Poleksosbudhankamnas7, namun berbeda halnya pada penatagunaan tanah
yang lebih menekankan aspek-aspek legalitas dan kepemilikan hak atas
tanah.Dalam penyusunan penataan ruang, instansi berbagai sektor (termasuk
sektor pertanahan) menyiapkan masukannya masing-masing untuk diolah secara
terintegrasi dan holistik menjadi sebuah rencana tata ruang. Rencana tata ruang
tersebut tidak akan mampu menampung seratus persen masukan aspirasi
masing-masing sektor, dan oleh karena itu bila rencana tata ruang tersebut telah
mempunyai status hukum maka masing-masing sector menterjemahkannya menjadi
dalam bentuk aspirasi sektornya masing-masing yang berbeda dengan aspirasi
semula sebagaimasukan, dan selanjutnya dijadikan acuan bagi pembangunan sector dan
program sektor terkait. Baik penyusunan rencana tata ruang, maupun penyusunan
rencana tata guna tanah melalui proses bertingkat disektornya masing-masing
secara iteratif yaitu “bottomup”dan “top-down”8 Sehubungan dengan Keterkaitan
Penataan Ruang dengan Penatagunaan Tanah, dijumpai kasus-kasus sebagai berikut
:Efektifitas Penataan Ruang. Ada beberapa hal teknis rasional yang menyebabkan
suatu penataan ruang tidak efektif yaitu:• Karena berbagai hal “customer”
penataan ruang tidak mampu dan/atau tidak mau mentaati rencana tata ruang,
meskipun perbuatan tidak mentaati baik tidak mampu maupun tidak mau tersebut
adalah perbuatan yang melanggar hukum; Sebahagian atau semua dari satu atau
lebih sumberdaya manajemen penataan ruang (waktu, dana, tenaga kerja, alat, bahan,
dan informasi) kurang memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas, atau
bahkan tidak tersedia sama sekali;• Tanah yang digunakan dalam penataan ruang
tidak dikuasai secara fisik dan tidak dimiliki secara hukum oleh pelaku penataan
ruang. Sebagai contoh pada kasus para pengembang yang menguasai secara fisik
dan memiliki secara hukum tanah yang akan digunakannya, mereka dapat membangunan
fisik di kawasan tanah miliknya secara efektif
seabagaimana telah direncanakan;• Karena berbagai sebab penyelenggaraan
penataan ruang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pertanahan.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kekayaan Indonesia dari hasil pertanian menjadi sumber
kekayaan rakyat,karena politik pertanahan dipegang oleh kaum penjajah. Rakyat
hanya menjadi alat untuk menghasilkan dari tanah itu. Rakyat terus menderita di atas tanahnya yang subur dan
kaya. Ketika
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945 persoalan agraria tidak
serta-merta terselesaikan secara menggembirakan.
Kaitan antara penataan ruang
dengan penatagunaan tanah sangat erat satu dengan lainnya saling mempengaruhi
yang sama-sama berkekuatan hukum dalam kerangka meningkatkan kesejahteraan dan
melindungi masyarakat. Agar tidak terjadi rencana yang bertentangan
denganperaturan perundang-undangan yang berlaku, umpamanya rencana penataan
ruang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pertanahan, dan
umpamanya instansi pertanahan yang dianggap menghambat penataan ruang, kiranya
instansi yang bertanggungjawab di bidang penataan ruang dan di bidang penatagunaan
tanah, serta instansi lainnya yang terkait, melakukan komunikasi dan kerjasama
yang lebih erat melalui suatu siklus iterasi yang dipercepat.
DAFTAR
PUSTAKA
Setiawan,
Usep “Menjaring Komitmen Demi Keadilan Agraria”, dalam Kompas: Edisi 17
November 2003.
Sumardjono,
Maria SW (2008). Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Tauchid,
Mochammad (2007) Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran
Rakyat Indonesia, Pewarta, Yogyakarta.
Wiradi,
Gunawan (2009). Reforma Agraria: Dari Desa ke Agenda Bangsa, IPB Press,
Bogor.
Wiradiputra,
RA (1952). Agraria (Hukum Tanah), Penerbit Jambatan, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar