Selasa, 29 Mei 2012

filsafat sejarahmacam-macam aliran filsafat+konsep pemikirannya MACAM-MACAM ALIRAN FILSAFAT BESERTA KONSEP PEMIKIRANNYA. Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta cinta terhadap ilmu atau hikmah. Filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf atau falasifah. Sementara itu, banyak para filosof yang mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya, hal ini dikarenakan pemikiran filsafat ilmu berasal dari pikiran manusia. “Filsafat adalah pengetahuan atas realitas dalam kemungkinan-kemungkinan akal manusia, karena filsafat berakhir pada teori ilmu pengetahuan untuk memperoleh kebenaran dan bertindak di atas rel kebenaran yang sudah ditemukan”. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dari segi kebahasaan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya. Adapun macam-macam aliran filsafat beserta konsepnya yang ada yakni: 1. Rasionalisme Rasionalisme adalah madzhab filsafat ilmu yang berpandangan bahwa rasio adalah sumber dari segala pengetahuan. Dengan demikian, kriteria kebenaran berbasis pada intelektualitas. Strategi pengembangan ilmu model rasionalisme, dengan demikian, adalah mengeksplorasi gagasan dengan kemampuan intelektual manusia. Para penganut rasionalisme berpandangan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal) seseorang. Perkembangan pengetahuan mulai pesat pada abad ke-18. Orang yang dianggap sebagai bapak rasionalisme adalah Rene Descartez (1596-1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya yang terkenal adalah cogito ergo sum (saya berpikir, jadi saya ada). Tokoh-tokoh rasionalisme diantaranya adalah Descartes, Leibniz dan Spinoza. Tokoh-tokoh lainnya adalah John Locke (1632-1704), J.J. Rousseau (1712-1778) dan Basedow (1723-1790). John Locke terkenal sebagai tokoh filsafat dan pendidik dengan pandangannya tentang tabula rasa dalam arti bahwa setiap insane diciptakan sama, sebagai kertas kosong. Dengan demikian melatih atau memberikan pendidikan atau pandai menalar merupakan tugas utama pendidikan formal. J.J. Rousseau adalah seorang tokoh pendidikan yang berpandangan bahwa seorang anak harus dididik sesuai dengan kemampuannya atau kesiapannya menerima pendidikan. J.B. Basedow berpandangan bahwa pendidikan harus membentuk kebijaksanaan, kesusilaan, dan kebahagiaan. Benih rasionalisme sebenarnya sudah ditanam sejak jaman Yunani kuno. Salah satu tokohnya, Socrates, mengajukan sebuah proposisi yang terkenal bahwa sebelum manusia memahami dunia ia harus memahami dirinya sendiri. Kunci untuk memahami dirinya itu adalah kekuatan rasio. Para pemikir rasionalisme berpandangan bahwa tugas dari para filosof diantaranya adalah membuang pikiran irasional dengan rasional. Pandangan ini misalnya disokong oleh Descartes sebagai konsep pemikiran aliran rasionalisme yang menyatakan bahwa: pengetahuan sejati hanya didapat dengan menggunakan rasio. Sumbangan rasionalisme tampak nyata dalam membangun ilmu pengetahuan modern yang didasarkan pada kekuatan pikiran atau rasio manusia. Hasil-hasil teknologi era industri dan era informasi tidak dapat dilepaskan dari andil rasionalisme untuk mendorong manusia menggunakan akal pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia. 2. Empirisme Asal kata empirisme adalah empiria yang berarti kepercayaan terhadap pengalaman. Bahan yang diperoleh dari pengalaman diolah oleh akal, sedangkan yang merupakan sumber pengetahuan adalah pengalaman karena pengalamanlah yang memberikan kepastian yang diambil dari dunia fakta. Empirisme berpandangan bahwa pernyataan yang tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman adalah tidak berarti atau tanpa arti. Ilmu haru sdapat diuji melalui pengalaman. Dengan demikian, kebenaran yang diperoleh bersifat a posteriori yang berarti setelah pengalaman (post to experience). Dapat diambil garis merahnya bahwa Empirisme adalah sebuah orientasi filsafat yang berhubungan dengan kemunculan ilmu pengetahuan modern dan metode ilmiah. Empirisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat terbatas pada apa yang dapat diamati dan diuji. Oleh karena itu konsep aliran empirisme yakni: memiliki sifat kritis terhadap abstraksi dan spekulasi dalam membangun dan memperoleh ilmu. Strategi utama pemerolehan ilmu, dengan demikian, dilakukan dengan penerapan metode ilmiah. Para ilmuwan berkebangsaan Inggris seperti John Locke, George Berkeley dan David Hume adalah pendiri utama tradisi empirisme. Francis Bacon telah meletakkan dasar-dasar empirisme dan menyarankan agar penemuan-penemuan dilakukan dengan metode induksi. Menurutnya ilmu akan berkembang melalui pengamatan dalam ekperimen serta menyusun fakta-fakta sebagai hasil eksperimen. Pandangan Thomas Hobbes sangat mekanistik. Karena merupakan bagian dari dunia, apa yang terjadi pada manusia atau yang dialaminya dapat diterangkan secara mekanik. Ini yang menyebabkan Thomas Hobbes dipandang sebagai penganjur materialisme. Sesuai dengan kodratnya manusia berkeinginan mempertahankan kebebasan dan menguasai orang lain. Hal ini menyebabkan adanya ungkapan homo homini lupus yang berarti bahwa manusia adalah srigala bagi manusia lain. Sumbangan utama dari aliran empirisme adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan apakah ilmu pengetahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam. Sejak saat itu, empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial. Seringkali empirisme diparalelkan dengan tradisi positivism. Namun demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang berbeda. 3. Realisme Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme. Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode induksi empiris. Gagasan utama ataupun konsep pemikiran dari realisme dalam konteks pemerolehan pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Dalam konteks ini, ilmuwan dapat saja menganalisa kategori fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis walaupun tidak dapat diobservasi secara langsung. Tradisi realisme mengakui bahwa entisitas yang bersifat abstrak dapat menjadi nyata (realitas) dengan bantuan simbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia. Mediasi bahasa dan kesadaran manusia yang bersifat nyata inilah yang menjadi ide dasar ‘Emile Durkheim’ dalam pengembangan ilmu pengetahuan sosial. Dalam area linguistik atau ilmu bahasa, de Saussure adalah salah satu tokoh yang terpengaruh mengadopsi pendekatan empirisme Durkheim. Bagi de Saussure, obyek penelitian bahasa yang diteliti diistilahkan sebagai ‘la langue’ yaitu simbol-simbol linguistic yang dapat diobservasi. 4. Idealism/ kritisme Istilah idealisme yang menunjukkan suatu pandangan dalam filsafat belum lama dipergunakan orang. Namun demikian, pemikiran tentang ide telah dikemukakan oleh Plato sekitar 2.400 tahun yang lalu. Menurut Plato, realitas yang fundamental adalah ide, sedangkan realitas yang tampak oleh indera manusia adalah bayangan dari ide tersebut. Bagi kelompok idealis alam ini ada tujuannya yang bersifat spiritual. Hukum-hukum alam dianggap sesuai dengan kebutuhan watak intelektual dan moral manusia. Mereka juga berpendapat bahwa terdapat suatu harmoni yang mendasar antara manusia dengan alam. Manusia memang bagian dari proses alam, tetapi ia juga bersifat spiritual, karena manusia memiliki akal, jiwa, budi, dan nurani. Dan dapat disimpulkan bahwa Idealisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang berpandangan bahwa doktrin tentang realitas eksternal tidak dapat dipahami secara terpisah dari kesadaran manusia. Dengan kata lain kategori dan gagasan eksis di dalam ruang kesadaran manusia terlebih dahulu sebelum adanya pengalaman-pengalaman inderawi. Kelompok yang mengikuti pandangan ini cenderung menghormati kebudayaan dan tradisi, sebab mereka mempunyai pandangan bahwa nilai-nilai kehidupan itu memiliki tingkat yang lebih tinggi dari sekadar nilai kelompok individu. Ini menunjukkan bahwa kekuatan idealisme terletak pada segi mental dan spiritual kehidupan. Pandangan Plato bahwa semua konsep eksis terpisah dari entitas materinya dapat dikatakan sebagai sumber dari pandangan idealism radikal. Karya dan pandangan Plato memberikan garis demarkasi yang jelas antara pikiran-pikiran idealis dengan pandangan materialis. Aritoteles menjadi orang yang memberikan tantangan pemikiran bagi gagasan-gagasan idealis Plato. Aristoteles mendasarkan pemikiran filsafatnya berdasarkan materi dan fisik. Salah satu sumbangan dari tradisi filsafat idealisme adalah pengaruh idealism platonic dalam agama kristen. Dalam Perjanjian Baru terdapat gagasan yang diagungkan, yakni “Permulaan adalah kata-kata”. Pada gilirannya, dalam sejarah, pemikiran Kristen turut memberikan andil dalam membentuk tradisi idealis terutama gagasan-gagasan dari Sain Augustine dengan pengembangan konsep penyucian jiwa. Selain Kristen, pemikiran yang turut memberikan saham bagi tradisi idealis adalah mistisisme Yahudi, mistisisme Kristen dan pengembangan pemikiran matematika oleh bangsa-bangsa Arab. Gerakan-gerakan pemikiran inilah yang kemudian membentuk dialektika modern antara idealisme dan materialism sejak era renaisans. Sumbangan idealism terhadap ilmu pengetahuan modern sangatlah jelas. Ilmu pengetahuan modern diniscayakan oleh kohesi antara bukti-bukti empiris dan formasi teori. Kaum materialis mendasarkan pemikirannya pada bukti-bukti empiris sedangkan kaum idealis pada formasi teori. Sebagai sebuah tradisi filosofi, idealisme tidak bisa dipisahkan dengan gerakan Pencerahan dan filsafat Pasca Pencerahan Jerman. Salah satu tokoh pemikir idealis yang tersohor adalah Immanuel Kant. Melalui bukunya “Critique of pure reason” yang diterbitakan tahun 1781, Kant menentang pendapat tradisi tokoh empiris seperti David Hume dan lain-lainnya. Kant mengatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman dunia memerlukan kategori dan pandangan yang berada dalam ruang kesadaran manusia. Gagasan Kant yang terkenal adalah ‘idealisme transedental’. Dalam konsep ini Kant berargumen bahwa ide-ide rasional dibentuk tidak saja oleh ‘phenomenal’ tapi juga ‘noumenal’, yakni kesadaran transedental yang berada pada pikiran manusia. Generasi idealis berikutnya dipelopori oleh, Georg Hegel. Hegel mengenalkan gagasan pendekatan dialektis yang tidak memihak baik gagasan ‘kesadaran mental’ Kant maupun ‘bukti-bukti material’ dari kaum empiris. Pikiran-pikiran Hegel inilah yang kemudian melahirkan konsep ‘spirit’-sebuah konsep yang integral dengan kelahiran tradisi ‘idealisme absolut’. Aliran kritisme/idealisme ini menjembatani pandangan rasionalisme dan empirisme. Tokohnya adalah Emmanuel Kant (1724-1804). Menurut kant, baik empirisme maupun rasionalisme , masing-masing kurang memadai, karena masih ada pernyataan yang bersifat sintetis analitis, misalnya: semua kejadian ada sebabnya. Sedangkan menurut Kant, berpikir adalah proses penyusunan keputusan yang terdiri dari subjek dan predikat. Dengan demikian, pemikiran filsafat idealisme dibangun terutama oleh gagasan-gagasan Hegel dan Kant. Namun demikian, bangunan filsafat politik modern yang berpaham bahwa manusia dapat mengatur dunia melalui ilmu pengetahuan telah membuktikan vitalitas aliran idealisme Kantian. 5. Positivisme Positivisme adalah doktrin filosofi dan ilmu pengetahuan sosial yang menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian. Terminologi positivisme dikenalkan oleh Auguste Comte untuk menolak doktrin nilai subyektif, digantikan oleh fakta yang bisa diamati serta penerapan metode ini untuk membangun ilmu pengetahuan yang diabdikan untuk memperbaiki kehidupan manusia. Salah satu bagian dari tradisin positivism adalah sebuah konsep yang disebut dengan positivisme logis. Positivisme ini dikembangkan oleh para filosof yang menamakan dirinya ‘Lingkaran Vienna’ (Calhoun, 2002) pada awal abad ke-20. Sebagai salah satu bagian dari positivisme, positivisme logis ingin membangun kepastian ilmu pengetahuan yang disandarkan lebih pada deduksi logis daripada induksi empiris. Kerangka pengembangan ilmu menurut tradisi positivisme telah memunculkan perdebatan tentang apakah ilmu pengetahuan sosial memang harus “diilmiahkan”. Kritik atas positivism berkaitan dengan penggunaan fakta-fakta yang kaku dalam penelitian sosial. Menurut para oponen positivism, penelitian dan pengembangan ilmu atas realitas sosial dan kebudayaan manusia tidak dapat begitu saja direduksi kedalam kuantifikasi angka yang bisa diverikasi karena realitas sosial sejatinya menyodorkan nilai-nilai yang bersifat kualitatif. Menjawab kritik ini, kaum positivis mengatakan bahwa metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian sosial tidak menemukan ketepatan karena sulitnya untuk di verifikasi secara empiris. Tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi positivisme adalah Thomas Kuhn, Paul K. Fyerabend, W.V.O. Quine, and filosof lainnya. Pikiran-pikiran para tokoh ini membuka jalan bagi penggunaan berbagai metodologi dalam membangun pengetahuan dari mulai studi etnografi sampai penggunaan analisa statistik. 6. Pragmatisme Pragmatisme adalah madzhab pemikiran filsafat ilmu yang dipelopori oleh C.S Peirce, William James, John Dewey, George Herbert Mead, F.C.S Schiller dan Richard Rorty. Tradisi pragmatism muncul atas reaksi terhadap tradisi idealis yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai entitas yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatisme berargumentasi bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu pengetahuan transendental dan menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai sumber pengetahuan. Bagi para penganut mashab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah perjalanan dan bukan merupakan tujuan. Pada awalnya pragmatisme dengan tokoh-tokohnya mengambil jalan berpikir yang berbeda antara satu dengan lainnya. Peirce, misalnya, lebih tertarik dalam meletakkan praktek dalam bentuk klarifikasi gagasan-gagasan. Peirce adalah tokoh yang menggagas konsep bahasa sebagai media dalam relasi instrumental antara manusia dengan benda. Gagasan ini kemudian disebut sebagai semiotik. James, tokoh yang mempopulerkan pragmatism, lebih tertarik dalam menghubungkan antara konsepsi kebenaran dengan area pengalaman manusia yang lain seperti; kepercayaan dan nilai-nilai kemasyarakatan. Tokoh selanjutnya, Dewey, menjadikan pragmatisme sebagai basis dari praktek-praktek berpikir secara kritis. Pendekatan Dewey yang pragmatis dalam pendidikan, misalnya, menitikberatkan pada penguasaan proses berpikir kritis daripada metode hafalan materi pelajaran. Sumbangan dari pragmatisme yang lain adalah dalam praktek demokrasi. Dalam area ini pragmatisme memfokuskan pada kekuatan individu untuk meraih solusi kreatif terhadap masalah yang dihadapi. 7. Konstruktvisme Salah satu tokoh konstruktivisme adalah Giambattista Vico yang mengemukakan bahwa pengetahuan seseorang itu merupakan hasil kontruksi individu, melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungannya. Jean Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, baik melalui indera maupun melalui komunikasi. Pengetahuan dibangun secara aktif oleh individu itu sendiri. Tokoh lain yaitu E. Von Glaserfeld yang mengemukakan bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu tersebut sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. The Liang Gie mengemukakan bahwa pengetahuan adalah seluruh keterangan dan ide yang terkandung dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai suatu gejala atau peristiwa. filsafat adalah sebuah ilmu yang terus berkembang, jadi selain aliran dalam filsata diatas masih ada dan mungkin akan terus tumbuh berbagai aliran lagi kedepannya. Referensi; Ali Saifullah.HA. 1983. Antara Filsafat dan Pendidikan: Pengantar Filsafat Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional Uyoh Sadulloh.1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek Admin, 2006. Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan. Cet .IV. Bandung, Al-Maarief, 1980. Drs.H.Hamdani Ihsan dan Drs.H.A.Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. Pustaka Setia. Bandung. Arifin M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta. Bumi Aksara. 1994. Jalaluddin & Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta. Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997 FILSAFAT SEJARAH BAB I PENDAHULUAN Filsafat sejarah tidak hanya masa lampau dalam masa sekarang tetapi juga berusaha untuk membuat proyeksi ke masa depan. Beberapa pandangan atau aliran dalam pengkajian sejarahbermacam-macam sehingga memerlukan beberapa pilihan untuk mengkaji lebih lanjut. Dalam filsafat ada berbagai metode dan objek filsafat yang sangat perlu untuk di ketahui. Makalah ini akan membahas beberapa hal tersebut. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Filsafat Sejarah Kesadaran manusia tentang sejarah telah dimulai sejak adanya filsafat yang berfikir mengenai sejarah, perkembangan bangsa dan bangunan. Beberapa ahli filsafat Yunani kuno telah melangkah maju dengan berpendapat bahwa arus sejarah yang simpang siur itu sebetulnya berdasar sebuah rencana yang masuk akal ( Meullen, 1987: 24). Marcus Tullius Cicero menyebut Herodatus sudah berusaha menjaring sumber-sumber yang dapat dipercaya dan berusaha dengan jujur untuk mencapai kebenaran ( Pospoprodjo, 1987 : 10). Namun demikian istilah filsafat sejarah baru untuk pertama kali di kemukakan oleh Voltaire (1694-1778) (Lowith, 1970 : 1). Ungkapan filsafat sejarah secara tradisional berarti usaha memberikan keterangan atau tafsiran yang luas mengenai seluruh proses sejarah ( Gardiner, 1987: 123). Filsafat sejarah tidak hanya berusaha untuk memahami masa lampau dalam perspektif masa kini, akan tetapi juga berusaha untuk membuat sesuatu proyeksi ke masa depan. Kaerna itu seorang filosof filsafat sejarah berusaha untuk memehami perkembangan kemanusiaan secara utuh. Filsafat sejarah dalam istilah lain disebut dengan Historisitas. Historisitas dalam filsafat barat menjadi agenda penting pemikiran modern dan dianggap sebagai langkah evaluatif yang dapat membuka pemahaman tentang masa depan. Historisitas tidak hanya sebagai cirri khusus zaman moder, tetapi juga telah di alami oleh zaman sebelumnya. Namun demikian Historositas tidak selalu di alami dengan cara yang sama pada setiap periode sejarah. Pada zaman modern manusia lebih sadar akan historisitasdi bandingkan denga zaman sebelumnya (Bertens, 1987 : 186). Manusia zaman modern dalam memahami historisitasnya lebih dinamik dan kreatif, ia tidak hanya berusaha untuk meramalkan tentang corak dan bentuk masa depan ideal yang di inginkannya lebih dari ia berusaha untuk mewujudkan cita-citanya itu. Russell, ( 1989 : 1) mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam lingkungan masyarakat yang tidak mereka ciptakan. Struktur sosial, ekonomi dan politik merupakan factor penentu, apakah dapat memperlancar atau menghambat perkembangan biografis mereka. Maka untuk memahami sejarah individu perlu dimengerti struktur yang membentuklatar belakang atau pilihan-pilihan hidupnya. Agar para individu bias memahami sejarah mereka maka hendaknya mereka berpegang teguh pada struktur yang jelas, yaitu arah kecenderunga sejarah. Marx melihat proses sejarah sebagai upaya untuk merekontruksi sejarah manusia untuk kembali ke zaman prasejarah yang tanpa kelas. Comte mengemukakan bahwa sejarah adalah proses perkembangan intelektual dan kebudayaan manusia. Sedangkan Spengler, Tonybebe dan Sorokin melihat pasang surut, kebangkitan dan kehancuran kebudayaan manusia dalam serah. Berdasarkan kenyataan bahwa sejarah tidak dapat di pastikan begitu saja perkembangannya, maka muncullah kelompok historisme-kritis yang melawan aliran historisme. Aliran historisme adalah aliran filsafat sejarah yang beranggapan bahwa ilmu-ilmu sosial bertujuan untuk meramalkan perkembangan sejarah dengan membentuk alur atau pola “ hokum atau frend” yang menentukan jalanya sejarah (Popper, 1985 : 3). Pandangan-pandangan tentang sejarah telah bantak di tampilkan oleh para filosof filsafat sejarah. Hal ini menandakan bhwa filsafat sejarah ada gunanya terlebih bagi peneliti sejarah. Ankersmith, (1987 : 10) mengatakan bahwa dengan di latarbelakangi oleh filsafat sejarah, seorang peneliti sejarah akan lebih mampu mengadakan suatu penilaian pribadi mengenai pengadaan pangkajian sejarah masa kini dengan memuaskan. Sebab pengkajian sejarah turut di tentukan oleh diskusi-diskusi antara filosf sejarah mengenai tujuan kemungkinan-kemungkinan dalam pengkajian sejarah. Pengetahuan mengenai filsafat sejarah, memaparkan latar belakang bagi seorang ahli sejarah untuk menentukan posisinya sendiri terhadap usaha-uaha memasukkan pendekatan baru terhadap sejarah. B. Aliran Dalam Pengkajian Sejarah Dalam pengkajian sejarah banyak terhadap aliran yang oleh tiap pendukungnya terus disuarakan sehingga perlu diadakan suatu pilihan. Aliran tersebut diantaranya : 1. Filsafat Sejarah Hegel George Wilhem Friedrich Hegel (1770-1831) merupakan seorang filosof idealis, ia yakin bahwa atau jiwa adalah realitas terakhir. Ia juga seorang filosof manis dalam fakta, ia berpendapat bahwa setiap hal yang berhubungan satu sama lain dalam system besar dan kompleks atau keseluruhan yang sisebut dengan absolute. Idealis manistik sebagaimana yang ia kemukakan disebutnya dalam Phenomenology of Mind, membawa Hegel pada keyakinan bahwa terdapat suatu pemikiran atau subtansi mental (Collinson, 200 : 142).Teorinya tentang kebenaran berkaitandengan ini, karena ia berpendapat bahwa yang riil adalah apa yang rasional dan bahwa yang benar adalah keseluruhan. Hegel dalam bukunya Philosophy of Histori mengembangkan sebuah teori yang didasarkan pada pandangan bahwa Negara merupakan realitas kemajuan pikiran kea rah kesatuan dengan nalar. Ia melihat Negara aebagai kesatuan wujud dari kebebasan objektif dan nafsu subjektif adalah organisasi rasional dari sebuah kebebasan yang sebenarnya berubah-ubah dan sewenang-wenang jika di biarkan pada tingkah laku individu. Dalam bukunya mengenai filsafat sejarah Hegel membahas dunia timur, dunia Yunani-Romawi dan dunia Germania. Pembagian ini didasarkan atas Trias Hegel yakni : roh objektif, roh subjektif dan roh mutlak. Dalam dunia Timur, roh belum sadar diri, manusia masih dalam keadaan alami sedangkan roh berkarya dan menyusun dalam objektifitas ( seperti hukum alam). Dalam dunia Yunani-Romawitimbullah subjektifitas, roh menempatkan diri di luar dan berhadapan dengan apa yang secara objektif ada. Akan tetapi roh subjektif kurang memahami kenyataan objektif. Baru dengan munculnya roh mutlak didalam dunia Germania terjadi perukunan antara yang subjektif dan yang objektif ( Smith, 1987 : 38-39). Filsafat sejarah bagi Hegel representasinya yang nyata terlihat dalam bentuk- bentuk kekuasaan dalam Negara. Negara merupakan realitas kemajuan pikiran ke arah kesatuan yang nalar. Ia melihat bahwa Negara adalah kesetuan wujud kebebasan objektif dan nafsu subjektifnya adalah organisasi rasional dari sebuah kebebasan yang sebenarnya berubah-ubah dan sewenang-wenang jika di biarkan pada tingkah laku individu ( Collinson, 2001 : 143) lebih lajut dalam pengantar bukunya Philosophy of History ia menulis : “ Negara adalah ide tentang roh didalam perwujudan lahir kehendak manusia dan kebebasanya. Maka bagi Negara, perubahan dalam aspek sejarah tidak dapat membatalkan pemberian itu sendiri dan berbagai tahap yang berkesinambungan dengan ide mewujudkan diri mereka di dalamnya sebagai prinsip-prinsip politik yang jelas” ( Hegel, 2001: 65). Negara adalah tujuan yang sesungguhnya dari manusia, tidak sekedar sarana. Negara mendamaikan kepentingan perorangan dan masyarakat. Negara didirikan atas ketaatan hak-hak perorangan pada kewajiban-kewajiban masyarakat. 2. Filsafat Sejarah Karl Marx Karl Heinrich Marx ( 1818-1883) adlah filosof Jerman yang pemikiranya telah menjadi inspirasi dasar “ Marxisme” sebagi ideology perjuangan kaum buruh, yang menjadi komponen inti dari ideology komunisme pemikiran Marx juga telah menjadi salah satu rangsangan besar bagi perkembangan sosiologi, ilmu ekonomi dan filsafat kritis ( Magnis-Suseno, 2000:3). Pemikiran Mark tidak hanya tinggal diam di wilayah teori, melainkan ideology yang di kenal ideology Marxisme dan komunisme. Ideologi ini dalam sejarah telah menjadi kekuatan sosial politik. Dalam sejarah filsafat barat hanya Marx yang mengembangkan sebuah pemikiran yang pada dasar filosofis namun kemudian menjadi teori perjuangan gerakan pembebasan. Motor perubahan dan perkembangan menurut Karl Marx adalah pertentangan antara kelas-kelas sosial, bukan oleh individu-individu tertentu ( Magnis-Suseno, 2000:125). Maka menurut Marx tidak tepat jika sejarah di pandang sebagai hasil tindakan raja-raja dan orang-orang besar lainya. Apa yang di putuskan dan di usahakan oleh orang-orang besar yang dikenal dari buku-buku sejarah popular, meskipun tidak pernah tanpa kepentingan atau cita-cita. Dalam garis besarnya selalu akan bergerak dalam rangka kepentingan kelas mereka serta mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas dalam masyarakat yang bersangkutan. Tiga tahap filsafat sejarah Marx menggambarkan pola “ satu langkah ke belakang, dua langkah ke depan”. Komunitas-komunitas primitif harus di hancurkan terlebih dahulu sebelum satu komunitas bisa di buat lagi pada tingkat yang lebih sempurna. Materialisme histories menekankan bahwa tahap-tahap berurutan dalam penghancuran ini juga sebagai tenggang waktu. Ketika para produsen dengan cepat terpisah dari sarana-sarana produksi mereka, maka kerja mereka semakin produktif. Pemisahan ini berlangsung sangat ekstrim dalam kapitalisme yang notabene juga salah satu tahap dimana perkembangan kekuatan-kekuatan produksi mencapai tingkat yang paling tinggi ( Elster, 2000:16) Marx membedakan Arga tahapan manusia : a. Tahap pertama : Adalah masyarakat purba sebelum pembagian kerja dimulai. b. Tahap kedua-yang masih berlangsung : adalah tahap pembagian kerja sekaligus tahap kepemilikan hak pribadi dan hak keterasingan. c. Tahap ketiga : adalah tahap kebebasan yaitu apabila hak milik pribadi telah di hapus ( Magnis, 2000: 102) Jadi system hak milik pribadi bukan sebuah “ kecelakaan” melainkan tahap yang pasti dalam perjalanan umat manusia ke tahap kebebasan. Tahap hak milik pribadi tidak dapat di hindari karena pembagian kerja juga tidak bisa dihindari. Hanya melalui pembagian kerja umat manusia dapat menjamin keberlangsungan hidupnya. Maka meskipun keterasingan manusia dinilai negative, tetapi keterasingan tersebut merupakan tahap yang harus dilalui oleh umat manusia. Menurut Marx masyarakat masa depan yang di idealkan adalah komunisme. Seperti yang di kutip oleh Fromm dalam Manuskrip II, Marx menegaskan bahwa : komunismne merupakan penghapusan kepemilikan pribadi secara positif yang merupakan apresrasi nyata dari watak manusia melalui dan untuk manusia. Komunisme pengembalian manusia sebagai makluk sosial yaitu pengembalian yang lengkap dan sadar yang mencampurkan semua kekayang dan perkembangan sebelumnya. Komunisme sebagai naturalisme yang paling maju adalah humanisme, dan humanisme yang paling maju adalah naturalisme. Tentang struktur mana yang mendukung atau memajukan kebebasan tindakan mereka semua. Patrick Gardiner (1985 : 123-124) mengatakan bahwa ungkapan filsafat sejarah menunjukkan kepada dua jenis penyelidikan yang sangat berbeda. Secara tradisional ungkapan tersebut telah digunakan untuk menunjukkan kepada usaha memberikan keterangan atau tafsiran yang luas mengenai seluruh proses sejarah. Filsafat sejarah dalam arti ini disebut “ filsafat sejarah formal atau spekulatif” yang secara khas berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “ apa arti (makna, tujuan ) sejarah? “atau hukum-hukum pokok mana yang mengatur perkembangan dan perubahan dalam sejarah?”. Diatara tokoh-tokoh utama yang paling mewakili tepri ini : Vico, Herder, Hegel, Comte, Marx, Tonybee dan lain-lain. Secara modern ungkapan tersebut berarti suatu kritik terhadap filsafat sejarah formal atau spekulatif, terutama kritik dari sudut logika maupun metodologi. Filsafat sejarah dalam arti ini disebut dengan “ Filafat sejarah kritis” dengan tokohnya antara lain Popper. David Bebbyngton (1979 :17-20) membagi filsafat sejarah ke dalam lima aliran yaitu : 1. Aliran Siklus. Yang berpandangan bahwa alur perkembangan sejarah itu tidak maju, tetapi selalu kembali seperti perputaran musim. Tokoh yang mewakili aliran ini adalah Nietzsche dan Tonybee. 2. Aliran pemikiran yang khusus berhubungan dengan tradisi Yahudi dan Kristiani. Aliran inn sangat dipengaruhi oleh pandangan agama. Sejarah tidak hanya dilihat sebagai siklus, akan tetapi juga sebagai gerak garis lurus. Tokoh yang bergabung dalam aliran ini adalah Agustinus dan Niehbuhr. 3. Aliran pemikiran yang melihat perkembangan sejarah sebagai suatu proses yang bergerak secara linier kea rah kemajuan. Filosof yang mewakili aliran ini adalah Comte. 4. Aliran Historisme. Aliran ini menolak keyakinan bahwa sejarah adalah linier. Menurut mereka perkembangan sejarah sangat di tentukan oleh berbagai factor dalam kebudayaan manusia. Tokoh yang bergabung dalam aliran ini ialah Vico, Ranke, Collingwood. 5. Aliran yang dipengaruhi oleh filsafat sejarah Marxisme John Edward Sulivan ( 1970 : 265-290) dalam bukunya Propets of The Wesr ; An Intruduction to the Philosophy of History, mengatakan bahwa para filosof filsafat sejarah dalam pandangannya tentang sejarah berdasarkan pada situasi yang di hadapi pada waktu itu dan mencoba untuk memperlihatkan komunisme adalah solusi teka-teki sejarah dan mengetahui bahwa dirinya merupakan solusi ( Fromm, 2001:168). Komunisme 3. Filsafat Sejarah Auguste Comte Auguste Comte ( 1798-1870) adalah pendiri aliran filsafat positivisme yang anti metafisisme. Ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif –ilmiah. Baginya tidak ada gunanya mencari “ kakekat” kenyataan. Hanya ada satu hal yang terpenting yaitu “ Savor p our prevour” ( mengetahui supaya siap untuk bertindak, mengetahui supaya manusia dapat menantikan apa yang akan terjadi) (Hamersma, 1983 :54). Manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan antara gejala-gejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Hubungan antara gejala-gejala oleh Comte disebut ‘konsep-konsep’dan ‘hukum-hukum’. Hukum-hukum bersifat ‘positif ‘. Positif dalam arti Comte adalah yang berguna untuk diketahui. Sejarah umat manusia, jiwa manusia, baik secara individual maupun secara kelompok berkembang menurut hukum tiga tahap, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak dan tahap positif atau riel ( Koento Wibisono, 1982 :11). C. Metode Filsafat Sebenarnay jumlah metode filsafat hampir saam banyaknya dengan definiusi para ahli dan filusuf sendiri karena metode adalah suatu alat pendekatan untuk mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangan filusuf itu sendiri. Beberapa metode filsafat : 1. Metode Kritis : Socrates dan Plato Metode ini bersifat analisis istilah dan pendapat atau aturan-aturan yang dikemukakan orang merupakan hermenecetika yang menjelaskan keyakinan dan memperlihatkan pertentangan. Dengan jalan bertanya ( berdialog), membedaka, membersihkan, menyisihkan dan menolak yang akhirnya ditemukan hakikat. 2. Metode Intuitif : Plotinus dan Bergson Dengan jalan metode intuitif dan dengan pemakain symbol-simbol diusahakan membersihkan intelektual ( bersama dengan pencucian moral) sehingga tercapai suatu penerangan pemikiran. Sedangkan Bergson denga jalan pembaura antara kesadaran dan proses perubahan, tercapai perubahan, tercapai pemahaman langsung mengenai kenyataan. 3. Metode Skolastik : Aristoteles, Thomas Aquinas, filsafat abad pertengahan. Metode ini bersifat sintesis-deduktif dengan bertitik tolak dari definisi- definisi atau prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya ditarik kesimpulan-kesimpulan. 4. Metode Geometris : Rene descarfes dan pengikutnya Melalui analisis mengenai hal-hal kompleks dicapai intusi akan hakikat- hakikat sederhana ( ide terang da berbeda dengan lainya) dari hakikat-hakikat itu di dedukasikan secara matematis segala pengertian lainya. 5. Metode Empiris : Hobbes, Locke, Berkeley, David Hume. Hanya pengalamanlah yang menyajikan pengertian benar, maka semua pengertian ( ide-ide) dalam intropeksi di bandingkan dengan cerapan-cerapan ) impresi dan kemudian disusun bersama secara geometris. 6. Metode Transendal : Immanuel Kant dan Neo Skolastik Metode ini bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu dengan jalan analisis diselisiki syarat-syarat aprori bagi pengertian demikian. 7. Metode Fenomenologis : Huserl, Eksistensialisme. Yakni dengan jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction), refleksi atau fenomin dalam kesadaram mencapai penglihatan hakikat-hakikat murni. Fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan tentang segala sesuatu yang menampakkan diri atau membicarakan gejala. Hakeat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan. Menurut Huserl ada 3 macam reduksi yaitu : a. Reduksi Fenomenologis b. Reduksi Eidetis c. Reduksi Transendental 8. Metode Dialektis : Hegel dan Marx Dengan jalan mengikuti pikiran atau alam sendiri menurut triade tesis, antitesis, sintesis dicapai hakekat kenyataan. Dialektis itu di ungkapkan sebagai tiga langkah yaitu dua pengertian yang bertentangan kemudian di damaikan ( tesis-antitesis-sintesis) 9. Metode non-Positif. Kenyataan yamg di pahami menurut hakikatnya dengan jalan mempergunakan aturan-aturan seperti berlaku pada ilmu pengetahuan positif (eksata). 10. Metode Analitika Bahasa : Wiittgenstern. Dengan jalan analisa pemakaina baahsa sehari-sehari ditentukan sah atau tidaknya ucapan-ucapan filosofis. Metode ini dinilai cukup netral sebab sama sekali tidak mengendalikan salah satu filsafat. Keistimewaanya adalah semua dan hasilnya selalu didasarkan pada penelitian bahasa yang logis. D. Objek Filsafat Objek filsafat ini terdiri dari 1. Objek Meterial Filsafat. Yaitu suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan atau hal yang di selidiki. Di pandang atau di sorot oleh suatu disiplin ilmu yang mencangkup apa saja hal-hal yang konkrit ataupun abstrak. Menurut Dr. H. A. Dardiri bahwa objek material adalah sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, kenyataan maupun yang ada dalam kemungkinan. Segala yang ada itu di bagi menjadi dua yaitu : a. Ada yang bersifat umum (ontology ), yakni ilmu yang menyelidiki tentang hal yang ada pada umumnya. b. Ada yang bersifat khusus yang terbagi menjadi dua yaitu ada secara mutlak ( theodicae) dan tidak mutlak yang trdiri dari manusia ( antropologi metafisik) dan ( kosmologi). 2. Objek Formal Filsafat. Yaitu sudut pandang yang di tunjukkan pada bahan dari peneliti atau pemberntukan pengetahuan, suatu dari sudut mana objek material tersebut di pandang . Contoh : Objek materialnya adalah manusia ini ditinjau dari sudut pandang yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia diantaranya Psikologi, Antropologi, Sosiologi dsb BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Ungkapan filsafat sejarah secara tradisonal adalah usaha untuk memberikan keterangan atau tafsiran yang luas mengenai seluruh proses sejarah. 2. Filsafat sejarah tidak hanya untuk memahami masa lampau dalam pandangan masa kini, akan tetapi juga berusaha untuk membuat proyeksi ke masa depan. 3. Aliran dalam pengkajian sejarah : filsafat sejarah Hegel, filsafat sejarah Karl Marx, filsafat sejarah Auguste Comte. 4. Metode-metode dalam filsafat : Metode Kritis, metode intuitif, metode sekolastik, metode geometris, metode empiris, metode transcendental, metode fenomenologis, metode dialektis, metode non-positifisme, metode analitika bahasa. 5. Objek dalam filsafat : Objek material filsafat, objek formal filsafat. B. Penutup Kami sadar dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dari para pembaca untuk perbaiakan yang akan dating.macam-macam aliran filsafat+konsep pemikirannya MACAM-MACAM ALIRAN FILSAFAT BESERTA KONSEP PEMIKIRANNYA. Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta cinta terhadap ilmu atau hikmah. Filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf atau falasifah. Sementara itu, banyak para filosof yang mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya, hal ini dikarenakan pemikiran filsafat ilmu berasal dari pikiran manusia. “Filsafat adalah pengetahuan atas realitas dalam kemungkinan-kemungkinan akal manusia, karena filsafat berakhir pada teori ilmu pengetahuan untuk memperoleh kebenaran dan bertindak di atas rel kebenaran yang sudah ditemukan”. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dari segi kebahasaan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya. Adapun macam-macam aliran filsafat beserta konsepnya yang ada yakni: 1. Rasionalisme Rasionalisme adalah madzhab filsafat ilmu yang berpandangan bahwa rasio adalah sumber dari segala pengetahuan. Dengan demikian, kriteria kebenaran berbasis pada intelektualitas. Strategi pengembangan ilmu model rasionalisme, dengan demikian, adalah mengeksplorasi gagasan dengan kemampuan intelektual manusia. Para penganut rasionalisme berpandangan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal) seseorang. Perkembangan pengetahuan mulai pesat pada abad ke-18. Orang yang dianggap sebagai bapak rasionalisme adalah Rene Descartez (1596-1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya yang terkenal adalah cogito ergo sum (saya berpikir, jadi saya ada). Tokoh-tokoh rasionalisme diantaranya adalah Descartes, Leibniz dan Spinoza. Tokoh-tokoh lainnya adalah John Locke (1632-1704), J.J. Rousseau (1712-1778) dan Basedow (1723-1790). John Locke terkenal sebagai tokoh filsafat dan pendidik dengan pandangannya tentang tabula rasa dalam arti bahwa setiap insane diciptakan sama, sebagai kertas kosong. Dengan demikian melatih atau memberikan pendidikan atau pandai menalar merupakan tugas utama pendidikan formal. J.J. Rousseau adalah seorang tokoh pendidikan yang berpandangan bahwa seorang anak harus dididik sesuai dengan kemampuannya atau kesiapannya menerima pendidikan. J.B. Basedow berpandangan bahwa pendidikan harus membentuk kebijaksanaan, kesusilaan, dan kebahagiaan. Benih rasionalisme sebenarnya sudah ditanam sejak jaman Yunani kuno. Salah satu tokohnya, Socrates, mengajukan sebuah proposisi yang terkenal bahwa sebelum manusia memahami dunia ia harus memahami dirinya sendiri. Kunci untuk memahami dirinya itu adalah kekuatan rasio. Para pemikir rasionalisme berpandangan bahwa tugas dari para filosof diantaranya adalah membuang pikiran irasional dengan rasional. Pandangan ini misalnya disokong oleh Descartes sebagai konsep pemikiran aliran rasionalisme yang menyatakan bahwa: pengetahuan sejati hanya didapat dengan menggunakan rasio. Sumbangan rasionalisme tampak nyata dalam membangun ilmu pengetahuan modern yang didasarkan pada kekuatan pikiran atau rasio manusia. Hasil-hasil teknologi era industri dan era informasi tidak dapat dilepaskan dari andil rasionalisme untuk mendorong manusia menggunakan akal pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia. 2. Empirisme Asal kata empirisme adalah empiria yang berarti kepercayaan terhadap pengalaman. Bahan yang diperoleh dari pengalaman diolah oleh akal, sedangkan yang merupakan sumber pengetahuan adalah pengalaman karena pengalamanlah yang memberikan kepastian yang diambil dari dunia fakta. Empirisme berpandangan bahwa pernyataan yang tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman adalah tidak berarti atau tanpa arti. Ilmu haru sdapat diuji melalui pengalaman. Dengan demikian, kebenaran yang diperoleh bersifat a posteriori yang berarti setelah pengalaman (post to experience). Dapat diambil garis merahnya bahwa Empirisme adalah sebuah orientasi filsafat yang berhubungan dengan kemunculan ilmu pengetahuan modern dan metode ilmiah. Empirisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat terbatas pada apa yang dapat diamati dan diuji. Oleh karena itu konsep aliran empirisme yakni: memiliki sifat kritis terhadap abstraksi dan spekulasi dalam membangun dan memperoleh ilmu. Strategi utama pemerolehan ilmu, dengan demikian, dilakukan dengan penerapan metode ilmiah. Para ilmuwan berkebangsaan Inggris seperti John Locke, George Berkeley dan David Hume adalah pendiri utama tradisi empirisme. Francis Bacon telah meletakkan dasar-dasar empirisme dan menyarankan agar penemuan-penemuan dilakukan dengan metode induksi. Menurutnya ilmu akan berkembang melalui pengamatan dalam ekperimen serta menyusun fakta-fakta sebagai hasil eksperimen. Pandangan Thomas Hobbes sangat mekanistik. Karena merupakan bagian dari dunia, apa yang terjadi pada manusia atau yang dialaminya dapat diterangkan secara mekanik. Ini yang menyebabkan Thomas Hobbes dipandang sebagai penganjur materialisme. Sesuai dengan kodratnya manusia berkeinginan mempertahankan kebebasan dan menguasai orang lain. Hal ini menyebabkan adanya ungkapan homo homini lupus yang berarti bahwa manusia adalah srigala bagi manusia lain. Sumbangan utama dari aliran empirisme adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan apakah ilmu pengetahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam. Sejak saat itu, empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial. Seringkali empirisme diparalelkan dengan tradisi positivism. Namun demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang berbeda. 3. Realisme Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme. Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode induksi empiris. Gagasan utama ataupun konsep pemikiran dari realisme dalam konteks pemerolehan pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Dalam konteks ini, ilmuwan dapat saja menganalisa kategori fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis walaupun tidak dapat diobservasi secara langsung. Tradisi realisme mengakui bahwa entisitas yang bersifat abstrak dapat menjadi nyata (realitas) dengan bantuan simbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia. Mediasi bahasa dan kesadaran manusia yang bersifat nyata inilah yang menjadi ide dasar ‘Emile Durkheim’ dalam pengembangan ilmu pengetahuan sosial. Dalam area linguistik atau ilmu bahasa, de Saussure adalah salah satu tokoh yang terpengaruh mengadopsi pendekatan empirisme Durkheim. Bagi de Saussure, obyek penelitian bahasa yang diteliti diistilahkan sebagai ‘la langue’ yaitu simbol-simbol linguistic yang dapat diobservasi. 4. Idealism/ kritisme Istilah idealisme yang menunjukkan suatu pandangan dalam filsafat belum lama dipergunakan orang. Namun demikian, pemikiran tentang ide telah dikemukakan oleh Plato sekitar 2.400 tahun yang lalu. Menurut Plato, realitas yang fundamental adalah ide, sedangkan realitas yang tampak oleh indera manusia adalah bayangan dari ide tersebut. Bagi kelompok idealis alam ini ada tujuannya yang bersifat spiritual. Hukum-hukum alam dianggap sesuai dengan kebutuhan watak intelektual dan moral manusia. Mereka juga berpendapat bahwa terdapat suatu harmoni yang mendasar antara manusia dengan alam. Manusia memang bagian dari proses alam, tetapi ia juga bersifat spiritual, karena manusia memiliki akal, jiwa, budi, dan nurani. Dan dapat disimpulkan bahwa Idealisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang berpandangan bahwa doktrin tentang realitas eksternal tidak dapat dipahami secara terpisah dari kesadaran manusia. Dengan kata lain kategori dan gagasan eksis di dalam ruang kesadaran manusia terlebih dahulu sebelum adanya pengalaman-pengalaman inderawi. Kelompok yang mengikuti pandangan ini cenderung menghormati kebudayaan dan tradisi, sebab mereka mempunyai pandangan bahwa nilai-nilai kehidupan itu memiliki tingkat yang lebih tinggi dari sekadar nilai kelompok individu. Ini menunjukkan bahwa kekuatan idealisme terletak pada segi mental dan spiritual kehidupan. Pandangan Plato bahwa semua konsep eksis terpisah dari entitas materinya dapat dikatakan sebagai sumber dari pandangan idealism radikal. Karya dan pandangan Plato memberikan garis demarkasi yang jelas antara pikiran-pikiran idealis dengan pandangan materialis. Aritoteles menjadi orang yang memberikan tantangan pemikiran bagi gagasan-gagasan idealis Plato. Aristoteles mendasarkan pemikiran filsafatnya berdasarkan materi dan fisik. Salah satu sumbangan dari tradisi filsafat idealisme adalah pengaruh idealism platonic dalam agama kristen. Dalam Perjanjian Baru terdapat gagasan yang diagungkan, yakni “Permulaan adalah kata-kata”. Pada gilirannya, dalam sejarah, pemikiran Kristen turut memberikan andil dalam membentuk tradisi idealis terutama gagasan-gagasan dari Sain Augustine dengan pengembangan konsep penyucian jiwa. Selain Kristen, pemikiran yang turut memberikan saham bagi tradisi idealis adalah mistisisme Yahudi, mistisisme Kristen dan pengembangan pemikiran matematika oleh bangsa-bangsa Arab. Gerakan-gerakan pemikiran inilah yang kemudian membentuk dialektika modern antara idealisme dan materialism sejak era renaisans. Sumbangan idealism terhadap ilmu pengetahuan modern sangatlah jelas. Ilmu pengetahuan modern diniscayakan oleh kohesi antara bukti-bukti empiris dan formasi teori. Kaum materialis mendasarkan pemikirannya pada bukti-bukti empiris sedangkan kaum idealis pada formasi teori. Sebagai sebuah tradisi filosofi, idealisme tidak bisa dipisahkan dengan gerakan Pencerahan dan filsafat Pasca Pencerahan Jerman. Salah satu tokoh pemikir idealis yang tersohor adalah Immanuel Kant. Melalui bukunya “Critique of pure reason” yang diterbitakan tahun 1781, Kant menentang pendapat tradisi tokoh empiris seperti David Hume dan lain-lainnya. Kant mengatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman dunia memerlukan kategori dan pandangan yang berada dalam ruang kesadaran manusia. Gagasan Kant yang terkenal adalah ‘idealisme transedental’. Dalam konsep ini Kant berargumen bahwa ide-ide rasional dibentuk tidak saja oleh ‘phenomenal’ tapi juga ‘noumenal’, yakni kesadaran transedental yang berada pada pikiran manusia. Generasi idealis berikutnya dipelopori oleh, Georg Hegel. Hegel mengenalkan gagasan pendekatan dialektis yang tidak memihak baik gagasan ‘kesadaran mental’ Kant maupun ‘bukti-bukti material’ dari kaum empiris. Pikiran-pikiran Hegel inilah yang kemudian melahirkan konsep ‘spirit’-sebuah konsep yang integral dengan kelahiran tradisi ‘idealisme absolut’. Aliran kritisme/idealisme ini menjembatani pandangan rasionalisme dan empirisme. Tokohnya adalah Emmanuel Kant (1724-1804). Menurut kant, baik empirisme maupun rasionalisme , masing-masing kurang memadai, karena masih ada pernyataan yang bersifat sintetis analitis, misalnya: semua kejadian ada sebabnya. Sedangkan menurut Kant, berpikir adalah proses penyusunan keputusan yang terdiri dari subjek dan predikat. Dengan demikian, pemikiran filsafat idealisme dibangun terutama oleh gagasan-gagasan Hegel dan Kant. Namun demikian, bangunan filsafat politik modern yang berpaham bahwa manusia dapat mengatur dunia melalui ilmu pengetahuan telah membuktikan vitalitas aliran idealisme Kantian. 5. Positivisme Positivisme adalah doktrin filosofi dan ilmu pengetahuan sosial yang menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian. Terminologi positivisme dikenalkan oleh Auguste Comte untuk menolak doktrin nilai subyektif, digantikan oleh fakta yang bisa diamati serta penerapan metode ini untuk membangun ilmu pengetahuan yang diabdikan untuk memperbaiki kehidupan manusia. Salah satu bagian dari tradisin positivism adalah sebuah konsep yang disebut dengan positivisme logis. Positivisme ini dikembangkan oleh para filosof yang menamakan dirinya ‘Lingkaran Vienna’ (Calhoun, 2002) pada awal abad ke-20. Sebagai salah satu bagian dari positivisme, positivisme logis ingin membangun kepastian ilmu pengetahuan yang disandarkan lebih pada deduksi logis daripada induksi empiris. Kerangka pengembangan ilmu menurut tradisi positivisme telah memunculkan perdebatan tentang apakah ilmu pengetahuan sosial memang harus “diilmiahkan”. Kritik atas positivism berkaitan dengan penggunaan fakta-fakta yang kaku dalam penelitian sosial. Menurut para oponen positivism, penelitian dan pengembangan ilmu atas realitas sosial dan kebudayaan manusia tidak dapat begitu saja direduksi kedalam kuantifikasi angka yang bisa diverikasi karena realitas sosial sejatinya menyodorkan nilai-nilai yang bersifat kualitatif. Menjawab kritik ini, kaum positivis mengatakan bahwa metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian sosial tidak menemukan ketepatan karena sulitnya untuk di verifikasi secara empiris. Tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi positivisme adalah Thomas Kuhn, Paul K. Fyerabend, W.V.O. Quine, and filosof lainnya. Pikiran-pikiran para tokoh ini membuka jalan bagi penggunaan berbagai metodologi dalam membangun pengetahuan dari mulai studi etnografi sampai penggunaan analisa statistik. 6. Pragmatisme Pragmatisme adalah madzhab pemikiran filsafat ilmu yang dipelopori oleh C.S Peirce, William James, John Dewey, George Herbert Mead, F.C.S Schiller dan Richard Rorty. Tradisi pragmatism muncul atas reaksi terhadap tradisi idealis yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai entitas yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatisme berargumentasi bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu pengetahuan transendental dan menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai sumber pengetahuan. Bagi para penganut mashab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah perjalanan dan bukan merupakan tujuan. Pada awalnya pragmatisme dengan tokoh-tokohnya mengambil jalan berpikir yang berbeda antara satu dengan lainnya. Peirce, misalnya, lebih tertarik dalam meletakkan praktek dalam bentuk klarifikasi gagasan-gagasan. Peirce adalah tokoh yang menggagas konsep bahasa sebagai media dalam relasi instrumental antara manusia dengan benda. Gagasan ini kemudian disebut sebagai semiotik. James, tokoh yang mempopulerkan pragmatism, lebih tertarik dalam menghubungkan antara konsepsi kebenaran dengan area pengalaman manusia yang lain seperti; kepercayaan dan nilai-nilai kemasyarakatan. Tokoh selanjutnya, Dewey, menjadikan pragmatisme sebagai basis dari praktek-praktek berpikir secara kritis. Pendekatan Dewey yang pragmatis dalam pendidikan, misalnya, menitikberatkan pada penguasaan proses berpikir kritis daripada metode hafalan materi pelajaran. Sumbangan dari pragmatisme yang lain adalah dalam praktek demokrasi. Dalam area ini pragmatisme memfokuskan pada kekuatan individu untuk meraih solusi kreatif terhadap masalah yang dihadapi. 7. Konstruktvisme Salah satu tokoh konstruktivisme adalah Giambattista Vico yang mengemukakan bahwa pengetahuan seseorang itu merupakan hasil kontruksi individu, melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungannya. Jean Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, baik melalui indera maupun melalui komunikasi. Pengetahuan dibangun secara aktif oleh individu itu sendiri. Tokoh lain yaitu E. Von Glaserfeld yang mengemukakan bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu tersebut sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. The Liang Gie mengemukakan bahwa pengetahuan adalah seluruh keterangan dan ide yang terkandung dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai suatu gejala atau peristiwa. filsafat adalah sebuah ilmu yang terus berkembang, jadi selain aliran dalam filsata diatas masih ada dan mungkin akan terus tumbuh berbagai aliran lagi kedepannya. Referensi; Ali Saifullah.HA. 1983. Antara Filsafat dan Pendidikan: Pengantar Filsafat Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional Uyoh Sadulloh.1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek Admin, 2006. Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan. Cet .IV. Bandung, Al-Maarief, 1980. Drs.H.Hamdani Ihsan dan Drs.H.A.Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. Pustaka Setia. Bandung. Arifin M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta. Bumi Aksara. 1994. Jalaluddin & Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta. Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997 FILSAFAT SEJARAH BAB I PENDAHULUAN Filsafat sejarah tidak hanya masa lampau dalam masa sekarang tetapi juga berusaha untuk membuat proyeksi ke masa depan. Beberapa pandangan atau aliran dalam pengkajian sejarahbermacam-macam sehingga memerlukan beberapa pilihan untuk mengkaji lebih lanjut. Dalam filsafat ada berbagai metode dan objek filsafat yang sangat perlu untuk di ketahui. Makalah ini akan membahas beberapa hal tersebut. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Filsafat Sejarah Kesadaran manusia tentang sejarah telah dimulai sejak adanya filsafat yang berfikir mengenai sejarah, perkembangan bangsa dan bangunan. Beberapa ahli filsafat Yunani kuno telah melangkah maju dengan berpendapat bahwa arus sejarah yang simpang siur itu sebetulnya berdasar sebuah rencana yang masuk akal ( Meullen, 1987: 24). Marcus Tullius Cicero menyebut Herodatus sudah berusaha menjaring sumber-sumber yang dapat dipercaya dan berusaha dengan jujur untuk mencapai kebenaran ( Pospoprodjo, 1987 : 10). Namun demikian istilah filsafat sejarah baru untuk pertama kali di kemukakan oleh Voltaire (1694-1778) (Lowith, 1970 : 1). Ungkapan filsafat sejarah secara tradisional berarti usaha memberikan keterangan atau tafsiran yang luas mengenai seluruh proses sejarah ( Gardiner, 1987: 123). Filsafat sejarah tidak hanya berusaha untuk memahami masa lampau dalam perspektif masa kini, akan tetapi juga berusaha untuk membuat sesuatu proyeksi ke masa depan. Kaerna itu seorang filosof filsafat sejarah berusaha untuk memehami perkembangan kemanusiaan secara utuh. Filsafat sejarah dalam istilah lain disebut dengan Historisitas. Historisitas dalam filsafat barat menjadi agenda penting pemikiran modern dan dianggap sebagai langkah evaluatif yang dapat membuka pemahaman tentang masa depan. Historisitas tidak hanya sebagai cirri khusus zaman moder, tetapi juga telah di alami oleh zaman sebelumnya. Namun demikian Historositas tidak selalu di alami dengan cara yang sama pada setiap periode sejarah. Pada zaman modern manusia lebih sadar akan historisitasdi bandingkan denga zaman sebelumnya (Bertens, 1987 : 186). Manusia zaman modern dalam memahami historisitasnya lebih dinamik dan kreatif, ia tidak hanya berusaha untuk meramalkan tentang corak dan bentuk masa depan ideal yang di inginkannya lebih dari ia berusaha untuk mewujudkan cita-citanya itu. Russell, ( 1989 : 1) mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam lingkungan masyarakat yang tidak mereka ciptakan. Struktur sosial, ekonomi dan politik merupakan factor penentu, apakah dapat memperlancar atau menghambat perkembangan biografis mereka. Maka untuk memahami sejarah individu perlu dimengerti struktur yang membentuklatar belakang atau pilihan-pilihan hidupnya. Agar para individu bias memahami sejarah mereka maka hendaknya mereka berpegang teguh pada struktur yang jelas, yaitu arah kecenderunga sejarah. Marx melihat proses sejarah sebagai upaya untuk merekontruksi sejarah manusia untuk kembali ke zaman prasejarah yang tanpa kelas. Comte mengemukakan bahwa sejarah adalah proses perkembangan intelektual dan kebudayaan manusia. Sedangkan Spengler, Tonybebe dan Sorokin melihat pasang surut, kebangkitan dan kehancuran kebudayaan manusia dalam serah. Berdasarkan kenyataan bahwa sejarah tidak dapat di pastikan begitu saja perkembangannya, maka muncullah kelompok historisme-kritis yang melawan aliran historisme. Aliran historisme adalah aliran filsafat sejarah yang beranggapan bahwa ilmu-ilmu sosial bertujuan untuk meramalkan perkembangan sejarah dengan membentuk alur atau pola “ hokum atau frend” yang menentukan jalanya sejarah (Popper, 1985 : 3). Pandangan-pandangan tentang sejarah telah bantak di tampilkan oleh para filosof filsafat sejarah. Hal ini menandakan bhwa filsafat sejarah ada gunanya terlebih bagi peneliti sejarah. Ankersmith, (1987 : 10) mengatakan bahwa dengan di latarbelakangi oleh filsafat sejarah, seorang peneliti sejarah akan lebih mampu mengadakan suatu penilaian pribadi mengenai pengadaan pangkajian sejarah masa kini dengan memuaskan. Sebab pengkajian sejarah turut di tentukan oleh diskusi-diskusi antara filosf sejarah mengenai tujuan kemungkinan-kemungkinan dalam pengkajian sejarah. Pengetahuan mengenai filsafat sejarah, memaparkan latar belakang bagi seorang ahli sejarah untuk menentukan posisinya sendiri terhadap usaha-uaha memasukkan pendekatan baru terhadap sejarah. B. Aliran Dalam Pengkajian Sejarah Dalam pengkajian sejarah banyak terhadap aliran yang oleh tiap pendukungnya terus disuarakan sehingga perlu diadakan suatu pilihan. Aliran tersebut diantaranya : 1. Filsafat Sejarah Hegel George Wilhem Friedrich Hegel (1770-1831) merupakan seorang filosof idealis, ia yakin bahwa atau jiwa adalah realitas terakhir. Ia juga seorang filosof manis dalam fakta, ia berpendapat bahwa setiap hal yang berhubungan satu sama lain dalam system besar dan kompleks atau keseluruhan yang sisebut dengan absolute. Idealis manistik sebagaimana yang ia kemukakan disebutnya dalam Phenomenology of Mind, membawa Hegel pada keyakinan bahwa terdapat suatu pemikiran atau subtansi mental (Collinson, 200 : 142).Teorinya tentang kebenaran berkaitandengan ini, karena ia berpendapat bahwa yang riil adalah apa yang rasional dan bahwa yang benar adalah keseluruhan. Hegel dalam bukunya Philosophy of Histori mengembangkan sebuah teori yang didasarkan pada pandangan bahwa Negara merupakan realitas kemajuan pikiran kea rah kesatuan dengan nalar. Ia melihat Negara aebagai kesatuan wujud dari kebebasan objektif dan nafsu subjektif adalah organisasi rasional dari sebuah kebebasan yang sebenarnya berubah-ubah dan sewenang-wenang jika di biarkan pada tingkah laku individu. Dalam bukunya mengenai filsafat sejarah Hegel membahas dunia timur, dunia Yunani-Romawi dan dunia Germania. Pembagian ini didasarkan atas Trias Hegel yakni : roh objektif, roh subjektif dan roh mutlak. Dalam dunia Timur, roh belum sadar diri, manusia masih dalam keadaan alami sedangkan roh berkarya dan menyusun dalam objektifitas ( seperti hukum alam). Dalam dunia Yunani-Romawitimbullah subjektifitas, roh menempatkan diri di luar dan berhadapan dengan apa yang secara objektif ada. Akan tetapi roh subjektif kurang memahami kenyataan objektif. Baru dengan munculnya roh mutlak didalam dunia Germania terjadi perukunan antara yang subjektif dan yang objektif ( Smith, 1987 : 38-39). Filsafat sejarah bagi Hegel representasinya yang nyata terlihat dalam bentuk- bentuk kekuasaan dalam Negara. Negara merupakan realitas kemajuan pikiran ke arah kesatuan yang nalar. Ia melihat bahwa Negara adalah kesetuan wujud kebebasan objektif dan nafsu subjektifnya adalah organisasi rasional dari sebuah kebebasan yang sebenarnya berubah-ubah dan sewenang-wenang jika di biarkan pada tingkah laku individu ( Collinson, 2001 : 143) lebih lajut dalam pengantar bukunya Philosophy of History ia menulis : “ Negara adalah ide tentang roh didalam perwujudan lahir kehendak manusia dan kebebasanya. Maka bagi Negara, perubahan dalam aspek sejarah tidak dapat membatalkan pemberian itu sendiri dan berbagai tahap yang berkesinambungan dengan ide mewujudkan diri mereka di dalamnya sebagai prinsip-prinsip politik yang jelas” ( Hegel, 2001: 65). Negara adalah tujuan yang sesungguhnya dari manusia, tidak sekedar sarana. Negara mendamaikan kepentingan perorangan dan masyarakat. Negara didirikan atas ketaatan hak-hak perorangan pada kewajiban-kewajiban masyarakat. 2. Filsafat Sejarah Karl Marx Karl Heinrich Marx ( 1818-1883) adlah filosof Jerman yang pemikiranya telah menjadi inspirasi dasar “ Marxisme” sebagi ideology perjuangan kaum buruh, yang menjadi komponen inti dari ideology komunisme pemikiran Marx juga telah menjadi salah satu rangsangan besar bagi perkembangan sosiologi, ilmu ekonomi dan filsafat kritis ( Magnis-Suseno, 2000:3). Pemikiran Mark tidak hanya tinggal diam di wilayah teori, melainkan ideology yang di kenal ideology Marxisme dan komunisme. Ideologi ini dalam sejarah telah menjadi kekuatan sosial politik. Dalam sejarah filsafat barat hanya Marx yang mengembangkan sebuah pemikiran yang pada dasar filosofis namun kemudian menjadi teori perjuangan gerakan pembebasan. Motor perubahan dan perkembangan menurut Karl Marx adalah pertentangan antara kelas-kelas sosial, bukan oleh individu-individu tertentu ( Magnis-Suseno, 2000:125). Maka menurut Marx tidak tepat jika sejarah di pandang sebagai hasil tindakan raja-raja dan orang-orang besar lainya. Apa yang di putuskan dan di usahakan oleh orang-orang besar yang dikenal dari buku-buku sejarah popular, meskipun tidak pernah tanpa kepentingan atau cita-cita. Dalam garis besarnya selalu akan bergerak dalam rangka kepentingan kelas mereka serta mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas dalam masyarakat yang bersangkutan. Tiga tahap filsafat sejarah Marx menggambarkan pola “ satu langkah ke belakang, dua langkah ke depan”. Komunitas-komunitas primitif harus di hancurkan terlebih dahulu sebelum satu komunitas bisa di buat lagi pada tingkat yang lebih sempurna. Materialisme histories menekankan bahwa tahap-tahap berurutan dalam penghancuran ini juga sebagai tenggang waktu. Ketika para produsen dengan cepat terpisah dari sarana-sarana produksi mereka, maka kerja mereka semakin produktif. Pemisahan ini berlangsung sangat ekstrim dalam kapitalisme yang notabene juga salah satu tahap dimana perkembangan kekuatan-kekuatan produksi mencapai tingkat yang paling tinggi ( Elster, 2000:16) Marx membedakan Arga tahapan manusia : a. Tahap pertama : Adalah masyarakat purba sebelum pembagian kerja dimulai. b. Tahap kedua-yang masih berlangsung : adalah tahap pembagian kerja sekaligus tahap kepemilikan hak pribadi dan hak keterasingan. c. Tahap ketiga : adalah tahap kebebasan yaitu apabila hak milik pribadi telah di hapus ( Magnis, 2000: 102) Jadi system hak milik pribadi bukan sebuah “ kecelakaan” melainkan tahap yang pasti dalam perjalanan umat manusia ke tahap kebebasan. Tahap hak milik pribadi tidak dapat di hindari karena pembagian kerja juga tidak bisa dihindari. Hanya melalui pembagian kerja umat manusia dapat menjamin keberlangsungan hidupnya. Maka meskipun keterasingan manusia dinilai negative, tetapi keterasingan tersebut merupakan tahap yang harus dilalui oleh umat manusia. Menurut Marx masyarakat masa depan yang di idealkan adalah komunisme. Seperti yang di kutip oleh Fromm dalam Manuskrip II, Marx menegaskan bahwa : komunismne merupakan penghapusan kepemilikan pribadi secara positif yang merupakan apresrasi nyata dari watak manusia melalui dan untuk manusia. Komunisme pengembalian manusia sebagai makluk sosial yaitu pengembalian yang lengkap dan sadar yang mencampurkan semua kekayang dan perkembangan sebelumnya. Komunisme sebagai naturalisme yang paling maju adalah humanisme, dan humanisme yang paling maju adalah naturalisme. Tentang struktur mana yang mendukung atau memajukan kebebasan tindakan mereka semua. Patrick Gardiner (1985 : 123-124) mengatakan bahwa ungkapan filsafat sejarah menunjukkan kepada dua jenis penyelidikan yang sangat berbeda. Secara tradisional ungkapan tersebut telah digunakan untuk menunjukkan kepada usaha memberikan keterangan atau tafsiran yang luas mengenai seluruh proses sejarah. Filsafat sejarah dalam arti ini disebut “ filsafat sejarah formal atau spekulatif” yang secara khas berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “ apa arti (makna, tujuan ) sejarah? “atau hukum-hukum pokok mana yang mengatur perkembangan dan perubahan dalam sejarah?”. Diatara tokoh-tokoh utama yang paling mewakili tepri ini : Vico, Herder, Hegel, Comte, Marx, Tonybee dan lain-lain. Secara modern ungkapan tersebut berarti suatu kritik terhadap filsafat sejarah formal atau spekulatif, terutama kritik dari sudut logika maupun metodologi. Filsafat sejarah dalam arti ini disebut dengan “ Filafat sejarah kritis” dengan tokohnya antara lain Popper. David Bebbyngton (1979 :17-20) membagi filsafat sejarah ke dalam lima aliran yaitu : 1. Aliran Siklus. Yang berpandangan bahwa alur perkembangan sejarah itu tidak maju, tetapi selalu kembali seperti perputaran musim. Tokoh yang mewakili aliran ini adalah Nietzsche dan Tonybee. 2. Aliran pemikiran yang khusus berhubungan dengan tradisi Yahudi dan Kristiani. Aliran inn sangat dipengaruhi oleh pandangan agama. Sejarah tidak hanya dilihat sebagai siklus, akan tetapi juga sebagai gerak garis lurus. Tokoh yang bergabung dalam aliran ini adalah Agustinus dan Niehbuhr. 3. Aliran pemikiran yang melihat perkembangan sejarah sebagai suatu proses yang bergerak secara linier kea rah kemajuan. Filosof yang mewakili aliran ini adalah Comte. 4. Aliran Historisme. Aliran ini menolak keyakinan bahwa sejarah adalah linier. Menurut mereka perkembangan sejarah sangat di tentukan oleh berbagai factor dalam kebudayaan manusia. Tokoh yang bergabung dalam aliran ini ialah Vico, Ranke, Collingwood. 5. Aliran yang dipengaruhi oleh filsafat sejarah Marxisme John Edward Sulivan ( 1970 : 265-290) dalam bukunya Propets of The Wesr ; An Intruduction to the Philosophy of History, mengatakan bahwa para filosof filsafat sejarah dalam pandangannya tentang sejarah berdasarkan pada situasi yang di hadapi pada waktu itu dan mencoba untuk memperlihatkan komunisme adalah solusi teka-teki sejarah dan mengetahui bahwa dirinya merupakan solusi ( Fromm, 2001:168). Komunisme 3. Filsafat Sejarah Auguste Comte Auguste Comte ( 1798-1870) adalah pendiri aliran filsafat positivisme yang anti metafisisme. Ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif –ilmiah. Baginya tidak ada gunanya mencari “ kakekat” kenyataan. Hanya ada satu hal yang terpenting yaitu “ Savor p our prevour” ( mengetahui supaya siap untuk bertindak, mengetahui supaya manusia dapat menantikan apa yang akan terjadi) (Hamersma, 1983 :54). Manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan antara gejala-gejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Hubungan antara gejala-gejala oleh Comte disebut ‘konsep-konsep’dan ‘hukum-hukum’. Hukum-hukum bersifat ‘positif ‘. Positif dalam arti Comte adalah yang berguna untuk diketahui. Sejarah umat manusia, jiwa manusia, baik secara individual maupun secara kelompok berkembang menurut hukum tiga tahap, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak dan tahap positif atau riel ( Koento Wibisono, 1982 :11). C. Metode Filsafat Sebenarnay jumlah metode filsafat hampir saam banyaknya dengan definiusi para ahli dan filusuf sendiri karena metode adalah suatu alat pendekatan untuk mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangan filusuf itu sendiri. Beberapa metode filsafat : 1. Metode Kritis : Socrates dan Plato Metode ini bersifat analisis istilah dan pendapat atau aturan-aturan yang dikemukakan orang merupakan hermenecetika yang menjelaskan keyakinan dan memperlihatkan pertentangan. Dengan jalan bertanya ( berdialog), membedaka, membersihkan, menyisihkan dan menolak yang akhirnya ditemukan hakikat. 2. Metode Intuitif : Plotinus dan Bergson Dengan jalan metode intuitif dan dengan pemakain symbol-simbol diusahakan membersihkan intelektual ( bersama dengan pencucian moral) sehingga tercapai suatu penerangan pemikiran. Sedangkan Bergson denga jalan pembaura antara kesadaran dan proses perubahan, tercapai perubahan, tercapai pemahaman langsung mengenai kenyataan. 3. Metode Skolastik : Aristoteles, Thomas Aquinas, filsafat abad pertengahan. Metode ini bersifat sintesis-deduktif dengan bertitik tolak dari definisi- definisi atau prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya ditarik kesimpulan-kesimpulan. 4. Metode Geometris : Rene descarfes dan pengikutnya Melalui analisis mengenai hal-hal kompleks dicapai intusi akan hakikat- hakikat sederhana ( ide terang da berbeda dengan lainya) dari hakikat-hakikat itu di dedukasikan secara matematis segala pengertian lainya. 5. Metode Empiris : Hobbes, Locke, Berkeley, David Hume. Hanya pengalamanlah yang menyajikan pengertian benar, maka semua pengertian ( ide-ide) dalam intropeksi di bandingkan dengan cerapan-cerapan ) impresi dan kemudian disusun bersama secara geometris. 6. Metode Transendal : Immanuel Kant dan Neo Skolastik Metode ini bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu dengan jalan analisis diselisiki syarat-syarat aprori bagi pengertian demikian. 7. Metode Fenomenologis : Huserl, Eksistensialisme. Yakni dengan jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction), refleksi atau fenomin dalam kesadaram mencapai penglihatan hakikat-hakikat murni. Fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan tentang segala sesuatu yang menampakkan diri atau membicarakan gejala. Hakeat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan. Menurut Huserl ada 3 macam reduksi yaitu : a. Reduksi Fenomenologis b. Reduksi Eidetis c. Reduksi Transendental 8. Metode Dialektis : Hegel dan Marx Dengan jalan mengikuti pikiran atau alam sendiri menurut triade tesis, antitesis, sintesis dicapai hakekat kenyataan. Dialektis itu di ungkapkan sebagai tiga langkah yaitu dua pengertian yang bertentangan kemudian di damaikan ( tesis-antitesis-sintesis) 9. Metode non-Positif. Kenyataan yamg di pahami menurut hakikatnya dengan jalan mempergunakan aturan-aturan seperti berlaku pada ilmu pengetahuan positif (eksata). 10. Metode Analitika Bahasa : Wiittgenstern. Dengan jalan analisa pemakaina baahsa sehari-sehari ditentukan sah atau tidaknya ucapan-ucapan filosofis. Metode


macam-macam aliran filsafat+konsep pemikirannya
MACAM-MACAM ALIRAN FILSAFAT BESERTA
KONSEP PEMIKIRANNYA.

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta cinta terhadap ilmu atau hikmah. Filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf atau falasifah.
Sementara itu, banyak para filosof yang mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya, hal ini dikarenakan pemikiran filsafat ilmu berasal dari pikiran manusia. “Filsafat adalah pengetahuan atas realitas dalam kemungkinan-kemungkinan akal manusia, karena filsafat berakhir pada teori ilmu pengetahuan untuk memperoleh kebenaran dan bertindak di atas rel kebenaran yang sudah ditemukan”.  Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dari segi kebahasaan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan.
Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Adapun macam-macam aliran filsafat beserta konsepnya yang ada yakni:

1. Rasionalisme
Rasionalisme adalah madzhab filsafat ilmu yang berpandangan bahwa rasio adalah sumber dari segala pengetahuan. Dengan demikian, kriteria kebenaran berbasis pada intelektualitas. Strategi pengembangan ilmu model rasionalisme, dengan demikian, adalah mengeksplorasi gagasan dengan kemampuan intelektual manusia.
Para penganut rasionalisme berpandangan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal) seseorang. Perkembangan pengetahuan mulai pesat pada abad ke-18. Orang yang dianggap sebagai bapak rasionalisme adalah Rene Descartez (1596-1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya yang terkenal adalah cogito ergo sum (saya berpikir, jadi saya ada).
Tokoh-tokoh rasionalisme diantaranya adalah Descartes, Leibniz dan Spinoza.
Tokoh-tokoh lainnya adalah John Locke (1632-1704), J.J. Rousseau (1712-1778) dan Basedow (1723-1790). John Locke terkenal sebagai tokoh filsafat dan pendidik dengan pandangannya tentang tabula rasa dalam arti bahwa setiap insane diciptakan sama, sebagai kertas kosong. Dengan demikian melatih atau memberikan pendidikan atau pandai menalar merupakan tugas utama pendidikan formal.
J.J. Rousseau adalah seorang tokoh pendidikan yang berpandangan bahwa seorang anak harus dididik sesuai dengan kemampuannya atau kesiapannya menerima pendidikan. J.B. Basedow berpandangan bahwa pendidikan harus membentuk kebijaksanaan, kesusilaan, dan kebahagiaan.
Benih rasionalisme sebenarnya sudah ditanam sejak jaman Yunani kuno. Salah satu tokohnya, Socrates, mengajukan sebuah proposisi yang terkenal bahwa sebelum manusia memahami dunia ia harus memahami dirinya sendiri. Kunci untuk memahami dirinya itu adalah kekuatan rasio. Para pemikir rasionalisme berpandangan bahwa tugas dari para filosof diantaranya adalah membuang pikiran irasional dengan rasional. Pandangan ini misalnya disokong oleh Descartes sebagai konsep pemikiran aliran rasionalisme yang menyatakan bahwa: pengetahuan sejati hanya didapat dengan menggunakan rasio.
Sumbangan rasionalisme tampak nyata dalam membangun ilmu pengetahuan modern yang didasarkan pada kekuatan pikiran atau rasio manusia. Hasil-hasil teknologi era industri dan era informasi tidak dapat dilepaskan dari andil rasionalisme untuk mendorong manusia menggunakan akal pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia.

2. Empirisme
Asal kata empirisme adalah empiria yang berarti kepercayaan terhadap pengalaman. Bahan yang diperoleh dari pengalaman diolah oleh akal, sedangkan yang merupakan sumber pengetahuan adalah pengalaman karena pengalamanlah yang memberikan kepastian yang diambil dari dunia fakta. Empirisme berpandangan bahwa pernyataan yang tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman adalah tidak berarti atau tanpa arti. Ilmu haru sdapat diuji melalui pengalaman. Dengan demikian, kebenaran yang diperoleh bersifat a posteriori yang berarti setelah pengalaman (post to experience).
Dapat diambil garis merahnya bahwa Empirisme adalah sebuah orientasi filsafat yang berhubungan dengan kemunculan ilmu pengetahuan modern dan metode ilmiah. Empirisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat terbatas pada apa yang dapat diamati dan diuji. Oleh karena itu konsep aliran empirisme yakni: memiliki sifat kritis terhadap abstraksi dan spekulasi dalam membangun dan memperoleh ilmu. Strategi utama pemerolehan ilmu, dengan demikian, dilakukan dengan penerapan metode ilmiah.
Para ilmuwan berkebangsaan Inggris seperti John Locke, George Berkeley dan David Hume adalah pendiri utama tradisi empirisme.
Francis Bacon telah meletakkan dasar-dasar empirisme dan menyarankan agar penemuan-penemuan dilakukan dengan metode induksi. Menurutnya ilmu akan berkembang melalui pengamatan dalam ekperimen serta menyusun fakta-fakta sebagai hasil eksperimen.
Pandangan Thomas Hobbes sangat mekanistik. Karena merupakan bagian dari dunia, apa yang terjadi pada manusia atau yang dialaminya dapat diterangkan secara mekanik. Ini yang menyebabkan Thomas Hobbes dipandang sebagai penganjur materialisme. Sesuai dengan kodratnya manusia berkeinginan mempertahankan kebebasan dan menguasai orang lain. Hal ini menyebabkan adanya ungkapan homo homini lupus yang berarti bahwa manusia adalah srigala bagi manusia lain.
Sumbangan utama dari aliran empirisme adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan apakah ilmu pengetahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam. Sejak saat itu, empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial. Seringkali empirisme diparalelkan dengan tradisi positivism. Namun demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang berbeda.

3. Realisme
Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme. Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode induksi empiris. Gagasan utama ataupun konsep pemikiran dari realisme dalam konteks pemerolehan pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Dalam konteks ini, ilmuwan dapat saja menganalisa kategori fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis walaupun tidak dapat diobservasi secara langsung.
Tradisi realisme mengakui bahwa entisitas yang bersifat abstrak dapat menjadi nyata (realitas) dengan bantuan simbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia. Mediasi bahasa dan kesadaran manusia yang bersifat nyata inilah yang menjadi ide dasar ‘Emile Durkheim’ dalam pengembangan ilmu pengetahuan sosial.
Dalam area linguistik atau ilmu bahasa, de Saussure adalah salah satu tokoh yang terpengaruh mengadopsi pendekatan empirisme Durkheim. Bagi de Saussure, obyek penelitian bahasa yang diteliti diistilahkan sebagai ‘la langue’ yaitu simbol-simbol linguistic yang dapat diobservasi.

4. Idealism/ kritisme
Istilah idealisme yang menunjukkan suatu pandangan dalam filsafat belum lama dipergunakan orang. Namun demikian, pemikiran tentang ide telah dikemukakan oleh Plato sekitar 2.400 tahun yang lalu. Menurut Plato, realitas yang fundamental adalah ide, sedangkan realitas yang tampak oleh indera manusia adalah bayangan dari ide tersebut. Bagi kelompok idealis alam ini ada tujuannya yang bersifat spiritual. Hukum-hukum alam dianggap sesuai dengan kebutuhan watak intelektual dan moral manusia. Mereka juga berpendapat bahwa terdapat suatu harmoni yang mendasar antara manusia dengan alam. Manusia memang bagian dari proses alam, tetapi ia juga bersifat spiritual, karena manusia memiliki akal, jiwa, budi, dan nurani.
Dan dapat disimpulkan bahwa Idealisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang berpandangan bahwa doktrin tentang realitas eksternal tidak dapat dipahami secara terpisah dari kesadaran manusia. Dengan kata lain kategori dan gagasan eksis di dalam ruang kesadaran manusia terlebih dahulu sebelum adanya pengalaman-pengalaman inderawi.
Kelompok yang mengikuti pandangan ini cenderung menghormati kebudayaan dan tradisi, sebab mereka mempunyai pandangan bahwa nilai-nilai kehidupan itu memiliki tingkat yang lebih tinggi dari sekadar nilai kelompok individu. Ini menunjukkan bahwa kekuatan idealisme terletak pada segi mental dan spiritual kehidupan.
Pandangan Plato bahwa semua konsep eksis terpisah dari entitas materinya dapat dikatakan sebagai sumber dari pandangan idealism radikal. Karya dan pandangan Plato memberikan garis demarkasi yang jelas antara pikiran-pikiran idealis dengan pandangan materialis. Aritoteles menjadi orang yang memberikan tantangan pemikiran bagi gagasan-gagasan idealis Plato. Aristoteles mendasarkan pemikiran filsafatnya berdasarkan materi dan fisik.
Salah satu sumbangan dari tradisi filsafat idealisme adalah pengaruh idealism platonic dalam agama kristen. Dalam Perjanjian Baru terdapat gagasan yang diagungkan, yakni “Permulaan adalah kata-kata”. Pada gilirannya, dalam sejarah, pemikiran Kristen turut memberikan andil dalam membentuk tradisi idealis terutama gagasan-gagasan dari Sain Augustine dengan pengembangan konsep penyucian jiwa. Selain Kristen, pemikiran yang turut memberikan saham bagi tradisi idealis adalah mistisisme Yahudi, mistisisme Kristen dan pengembangan pemikiran matematika oleh bangsa-bangsa Arab. Gerakan-gerakan pemikiran inilah yang kemudian membentuk dialektika modern antara idealisme dan materialism sejak era renaisans.
Sumbangan idealism terhadap ilmu pengetahuan modern sangatlah jelas. Ilmu pengetahuan modern diniscayakan oleh kohesi antara bukti-bukti empiris dan formasi teori. Kaum materialis mendasarkan pemikirannya pada bukti-bukti empiris sedangkan kaum idealis pada formasi teori. Sebagai sebuah tradisi filosofi, idealisme tidak bisa dipisahkan dengan gerakan Pencerahan dan filsafat Pasca Pencerahan Jerman.
Salah satu tokoh pemikir idealis yang tersohor adalah Immanuel Kant. Melalui bukunya “Critique of pure reason” yang diterbitakan tahun 1781, Kant menentang pendapat tradisi tokoh empiris seperti David Hume dan lain-lainnya. Kant mengatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman dunia memerlukan kategori dan pandangan yang berada dalam ruang kesadaran manusia.
Gagasan Kant yang terkenal adalah ‘idealisme transedental’. Dalam konsep ini Kant berargumen bahwa ide-ide rasional dibentuk tidak saja oleh ‘phenomenal’ tapi juga ‘noumenal’, yakni kesadaran transedental yang berada pada pikiran manusia. Generasi idealis berikutnya dipelopori oleh, Georg Hegel. Hegel mengenalkan gagasan pendekatan dialektis yang tidak memihak baik gagasan ‘kesadaran mental’ Kant maupun ‘bukti-bukti material’ dari kaum empiris. Pikiran-pikiran Hegel inilah yang kemudian melahirkan konsep ‘spirit’-sebuah konsep yang integral dengan kelahiran tradisi ‘idealisme absolut’.
Aliran kritisme/idealisme ini menjembatani pandangan rasionalisme dan empirisme. Tokohnya adalah Emmanuel Kant (1724-1804). Menurut kant, baik empirisme maupun rasionalisme , masing-masing kurang memadai, karena masih ada pernyataan yang bersifat sintetis analitis, misalnya: semua kejadian ada sebabnya. Sedangkan menurut Kant, berpikir adalah proses penyusunan keputusan yang terdiri dari subjek dan predikat.
Dengan demikian, pemikiran filsafat idealisme dibangun terutama oleh gagasan-gagasan Hegel dan Kant. Namun demikian, bangunan filsafat politik modern yang berpaham bahwa manusia dapat mengatur dunia melalui ilmu pengetahuan telah membuktikan vitalitas aliran idealisme Kantian.

5. Positivisme
Positivisme adalah doktrin filosofi dan ilmu pengetahuan sosial yang menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian.
Terminologi positivisme dikenalkan oleh Auguste Comte untuk menolak doktrin nilai subyektif, digantikan oleh fakta yang bisa diamati serta penerapan metode ini untuk membangun ilmu pengetahuan yang diabdikan untuk memperbaiki kehidupan manusia.
Salah satu bagian dari tradisin positivism adalah sebuah konsep yang disebut dengan positivisme logis. Positivisme ini dikembangkan oleh para filosof yang menamakan dirinya ‘Lingkaran Vienna’ (Calhoun, 2002) pada awal abad ke-20.
Sebagai salah satu bagian dari positivisme, positivisme logis ingin membangun kepastian ilmu pengetahuan yang disandarkan lebih pada deduksi logis daripada induksi empiris. Kerangka pengembangan ilmu menurut tradisi positivisme telah memunculkan perdebatan tentang apakah ilmu pengetahuan sosial memang harus “diilmiahkan”. Kritik atas positivism berkaitan dengan penggunaan fakta-fakta yang kaku dalam penelitian sosial. Menurut para oponen positivism, penelitian dan pengembangan ilmu atas realitas sosial dan kebudayaan manusia tidak dapat begitu saja direduksi kedalam kuantifikasi angka yang bisa diverikasi karena realitas sosial sejatinya menyodorkan nilai-nilai yang bersifat kualitatif. Menjawab kritik ini, kaum positivis mengatakan bahwa metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian sosial tidak menemukan ketepatan karena sulitnya untuk di verifikasi secara empiris.
Tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi positivisme adalah Thomas Kuhn, Paul K. Fyerabend, W.V.O. Quine, and filosof lainnya. Pikiran-pikiran para tokoh ini membuka jalan bagi penggunaan berbagai metodologi dalam membangun pengetahuan dari mulai studi etnografi sampai penggunaan analisa statistik.

6. Pragmatisme
Pragmatisme adalah madzhab pemikiran filsafat ilmu yang dipelopori oleh C.S Peirce, William James, John Dewey, George Herbert Mead, F.C.S Schiller dan Richard Rorty.
Tradisi pragmatism muncul atas reaksi terhadap tradisi idealis yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai entitas yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatisme berargumentasi bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu pengetahuan transendental dan menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai sumber pengetahuan. Bagi para penganut mashab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah perjalanan dan bukan merupakan tujuan.
Pada awalnya pragmatisme dengan tokoh-tokohnya mengambil jalan berpikir yang berbeda antara satu dengan lainnya. Peirce, misalnya, lebih tertarik dalam meletakkan praktek dalam bentuk klarifikasi gagasan-gagasan. Peirce adalah tokoh yang menggagas konsep bahasa sebagai media dalam relasi instrumental antara manusia dengan benda. Gagasan ini kemudian disebut sebagai semiotik.
James, tokoh yang mempopulerkan pragmatism, lebih tertarik dalam menghubungkan antara konsepsi kebenaran dengan area pengalaman manusia yang lain seperti; kepercayaan dan nilai-nilai kemasyarakatan. Tokoh selanjutnya, Dewey, menjadikan pragmatisme sebagai basis dari praktek-praktek berpikir secara kritis. Pendekatan Dewey yang pragmatis dalam pendidikan, misalnya, menitikberatkan pada penguasaan proses berpikir kritis daripada metode hafalan materi pelajaran.
Sumbangan dari pragmatisme yang lain adalah dalam praktek demokrasi. Dalam area ini pragmatisme memfokuskan pada kekuatan individu untuk meraih solusi kreatif terhadap masalah yang dihadapi.

7. Konstruktvisme
Salah satu tokoh konstruktivisme adalah Giambattista Vico yang mengemukakan bahwa pengetahuan seseorang itu merupakan hasil kontruksi individu, melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungannya. Jean Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, baik melalui indera maupun melalui komunikasi. Pengetahuan dibangun secara aktif oleh individu itu sendiri.
Tokoh lain yaitu E. Von Glaserfeld yang mengemukakan bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu tersebut sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. The Liang Gie mengemukakan bahwa pengetahuan adalah seluruh keterangan dan ide yang terkandung dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai suatu gejala atau peristiwa. filsafat adalah sebuah ilmu yang terus berkembang, jadi selain aliran dalam filsata diatas masih ada dan mungkin akan terus tumbuh berbagai aliran lagi kedepannya.
Referensi;
Ali Saifullah.HA. 1983. Antara Filsafat dan Pendidikan: Pengantar Filsafat Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
Uyoh Sadulloh.1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek
Admin, 2006.
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan. Cet .IV. Bandung, Al-Maarief, 1980.
Drs.H.Hamdani Ihsan dan Drs.H.A.Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. Pustaka Setia. Bandung.
Arifin M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta. Bumi Aksara. 1994.
Jalaluddin & Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta.
Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997

FILSAFAT SEJARAH
BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat sejarah tidak hanya masa lampau dalam masa sekarang tetapi juga berusaha untuk membuat proyeksi ke masa depan. Beberapa pandangan atau aliran dalam pengkajian sejarahbermacam-macam sehingga memerlukan beberapa pilihan untuk mengkaji lebih lanjut. Dalam filsafat ada berbagai metode dan objek filsafat yang sangat perlu untuk di ketahui. Makalah ini akan membahas beberapa hal tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Sejarah
Kesadaran manusia tentang sejarah telah dimulai sejak adanya filsafat yang berfikir mengenai sejarah, perkembangan bangsa dan bangunan. Beberapa ahli filsafat Yunani kuno telah melangkah maju dengan berpendapat bahwa arus sejarah yang simpang siur itu sebetulnya berdasar sebuah rencana yang masuk akal ( Meullen, 1987: 24). Marcus Tullius Cicero menyebut Herodatus sudah berusaha menjaring sumber-sumber yang dapat dipercaya dan berusaha dengan jujur untuk mencapai kebenaran ( Pospoprodjo, 1987 : 10). Namun demikian istilah filsafat sejarah baru untuk pertama kali di kemukakan oleh Voltaire (1694-1778) (Lowith, 1970 : 1).
Ungkapan filsafat sejarah secara tradisional berarti usaha memberikan keterangan atau tafsiran yang luas mengenai seluruh proses sejarah ( Gardiner, 1987: 123). Filsafat sejarah tidak hanya berusaha untuk memahami masa lampau dalam perspektif masa kini, akan tetapi juga berusaha untuk membuat sesuatu proyeksi ke masa depan. Kaerna itu seorang filosof filsafat sejarah berusaha untuk memehami perkembangan kemanusiaan secara utuh.
Filsafat sejarah dalam istilah lain disebut dengan Historisitas. Historisitas dalam filsafat barat menjadi agenda penting pemikiran modern dan dianggap sebagai langkah evaluatif yang dapat membuka pemahaman tentang masa depan. Historisitas tidak hanya sebagai cirri khusus zaman moder, tetapi juga telah di alami oleh zaman sebelumnya. Namun demikian Historositas tidak selalu di alami dengan cara yang sama pada setiap periode sejarah. Pada zaman modern manusia lebih sadar akan historisitasdi bandingkan denga zaman sebelumnya (Bertens, 1987 : 186). Manusia zaman modern dalam memahami historisitasnya lebih dinamik dan kreatif, ia tidak hanya berusaha untuk meramalkan tentang corak dan bentuk masa depan ideal yang di inginkannya lebih dari ia berusaha untuk mewujudkan cita-citanya itu.

Russell, ( 1989 : 1) mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam lingkungan masyarakat yang tidak mereka ciptakan. Struktur sosial, ekonomi dan politik merupakan factor penentu, apakah dapat memperlancar atau menghambat perkembangan biografis mereka. Maka untuk memahami sejarah individu perlu dimengerti struktur yang membentuklatar belakang atau pilihan-pilihan hidupnya. Agar para individu bias memahami sejarah mereka maka hendaknya mereka berpegang teguh pada struktur yang jelas, yaitu arah kecenderunga sejarah. Marx melihat proses sejarah sebagai upaya untuk merekontruksi sejarah manusia untuk kembali ke zaman prasejarah yang tanpa kelas. Comte mengemukakan bahwa sejarah adalah proses perkembangan intelektual dan kebudayaan manusia. Sedangkan Spengler, Tonybebe dan Sorokin melihat pasang surut, kebangkitan dan kehancuran kebudayaan manusia dalam serah.

Berdasarkan kenyataan bahwa sejarah tidak dapat di pastikan begitu saja perkembangannya, maka muncullah kelompok historisme-kritis yang melawan aliran historisme. Aliran historisme adalah aliran filsafat sejarah yang beranggapan bahwa ilmu-ilmu sosial bertujuan untuk meramalkan perkembangan sejarah dengan membentuk alur atau pola “ hokum atau frend” yang menentukan jalanya sejarah (Popper, 1985 : 3). Pandangan-pandangan tentang sejarah telah bantak di tampilkan oleh para filosof filsafat sejarah. Hal ini menandakan bhwa filsafat sejarah ada gunanya terlebih bagi peneliti sejarah. Ankersmith, (1987 : 10) mengatakan bahwa dengan di latarbelakangi oleh filsafat sejarah, seorang peneliti sejarah akan lebih mampu mengadakan suatu penilaian pribadi mengenai pengadaan pangkajian sejarah masa kini dengan memuaskan. Sebab pengkajian sejarah turut di tentukan oleh diskusi-diskusi antara filosf sejarah mengenai tujuan kemungkinan-kemungkinan dalam pengkajian sejarah. Pengetahuan mengenai filsafat sejarah, memaparkan latar belakang bagi seorang ahli sejarah untuk menentukan posisinya sendiri terhadap usaha-uaha memasukkan pendekatan baru terhadap sejarah.
B. Aliran Dalam Pengkajian Sejarah
Dalam pengkajian sejarah banyak terhadap aliran yang oleh tiap pendukungnya terus disuarakan sehingga perlu diadakan suatu pilihan.
Aliran tersebut diantaranya :
1. Filsafat Sejarah Hegel
George Wilhem Friedrich Hegel (1770-1831) merupakan seorang filosof idealis, ia yakin bahwa atau jiwa adalah realitas terakhir. Ia juga seorang filosof manis dalam fakta, ia berpendapat bahwa setiap hal yang berhubungan satu sama lain dalam system besar dan kompleks atau keseluruhan yang sisebut dengan absolute. Idealis manistik sebagaimana yang ia kemukakan disebutnya dalam Phenomenology of Mind, membawa Hegel pada keyakinan bahwa terdapat suatu pemikiran atau subtansi mental (Collinson, 200 : 142).Teorinya tentang kebenaran berkaitandengan ini, karena ia berpendapat bahwa yang riil adalah apa yang rasional dan bahwa yang benar adalah keseluruhan.
Hegel dalam bukunya Philosophy of Histori mengembangkan sebuah teori yang didasarkan pada pandangan bahwa Negara merupakan realitas kemajuan pikiran kea rah kesatuan dengan nalar. Ia melihat Negara aebagai kesatuan wujud dari kebebasan objektif dan nafsu subjektif adalah organisasi rasional dari sebuah kebebasan yang sebenarnya berubah-ubah dan sewenang-wenang jika di biarkan pada tingkah laku individu. Dalam bukunya mengenai filsafat sejarah Hegel membahas dunia timur, dunia Yunani-Romawi dan dunia Germania. Pembagian ini didasarkan atas Trias Hegel yakni : roh objektif, roh subjektif dan roh mutlak. Dalam dunia Timur, roh belum sadar diri, manusia masih dalam keadaan alami sedangkan roh berkarya dan menyusun dalam objektifitas ( seperti hukum alam). Dalam dunia Yunani-Romawitimbullah subjektifitas, roh menempatkan diri di luar dan berhadapan dengan apa yang secara objektif ada. Akan tetapi roh subjektif kurang memahami kenyataan objektif. Baru dengan munculnya roh mutlak didalam dunia Germania terjadi perukunan antara yang subjektif dan yang objektif ( Smith, 1987 : 38-39). Filsafat sejarah bagi Hegel representasinya yang nyata terlihat dalam bentuk- bentuk kekuasaan dalam Negara. Negara merupakan realitas kemajuan pikiran ke arah kesatuan yang nalar. Ia melihat bahwa Negara adalah kesetuan wujud kebebasan objektif dan nafsu subjektifnya adalah organisasi rasional dari sebuah kebebasan yang sebenarnya berubah-ubah dan sewenang-wenang jika di biarkan pada tingkah laku individu ( Collinson, 2001 : 143) lebih lajut dalam pengantar bukunya Philosophy of History ia menulis :
“ Negara adalah ide tentang roh didalam perwujudan lahir kehendak manusia dan kebebasanya. Maka bagi Negara, perubahan dalam aspek sejarah tidak dapat membatalkan pemberian itu sendiri dan berbagai tahap yang berkesinambungan dengan ide mewujudkan diri mereka di dalamnya sebagai prinsip-prinsip politik yang jelas” ( Hegel, 2001: 65).
Negara adalah tujuan yang sesungguhnya dari manusia, tidak sekedar sarana. Negara mendamaikan kepentingan perorangan dan masyarakat. Negara didirikan atas ketaatan hak-hak perorangan pada kewajiban-kewajiban masyarakat.
2. Filsafat Sejarah Karl Marx
Karl Heinrich Marx ( 1818-1883) adlah filosof Jerman yang pemikiranya telah menjadi inspirasi dasar “ Marxisme” sebagi ideology perjuangan kaum buruh, yang menjadi komponen inti dari ideology komunisme pemikiran Marx juga telah menjadi salah satu rangsangan besar bagi perkembangan sosiologi, ilmu ekonomi dan filsafat kritis ( Magnis-Suseno, 2000:3). Pemikiran Mark tidak hanya tinggal diam di wilayah teori, melainkan ideology yang di kenal ideology Marxisme dan komunisme. Ideologi ini dalam sejarah telah menjadi kekuatan sosial politik. Dalam sejarah filsafat barat hanya Marx yang mengembangkan sebuah pemikiran yang pada dasar filosofis namun kemudian menjadi teori perjuangan gerakan pembebasan. Motor perubahan dan perkembangan menurut Karl Marx adalah pertentangan antara kelas-kelas sosial, bukan oleh individu-individu tertentu ( Magnis-Suseno, 2000:125). Maka menurut Marx tidak tepat jika sejarah di pandang sebagai hasil tindakan raja-raja dan orang-orang besar lainya.
Apa yang di putuskan dan di usahakan oleh orang-orang besar yang dikenal dari buku-buku sejarah popular, meskipun tidak pernah tanpa kepentingan atau cita-cita. Dalam garis besarnya selalu akan bergerak dalam rangka kepentingan kelas mereka serta mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas dalam masyarakat yang bersangkutan.
Tiga tahap filsafat sejarah Marx menggambarkan pola “ satu langkah ke belakang, dua langkah ke depan”. Komunitas-komunitas primitif harus di hancurkan terlebih dahulu sebelum satu komunitas bisa di buat lagi pada tingkat yang lebih sempurna. Materialisme histories menekankan bahwa tahap-tahap berurutan dalam penghancuran ini juga sebagai tenggang waktu. Ketika para produsen dengan cepat terpisah dari sarana-sarana produksi mereka, maka kerja mereka semakin produktif. Pemisahan ini berlangsung sangat ekstrim dalam kapitalisme yang notabene juga salah satu tahap dimana perkembangan kekuatan-kekuatan produksi mencapai tingkat yang paling tinggi ( Elster, 2000:16)
Marx membedakan Arga tahapan manusia :
  1. Tahap pertama : Adalah masyarakat purba sebelum pembagian kerja dimulai.
  2. Tahap kedua-yang masih berlangsung : adalah tahap pembagian kerja sekaligus tahap kepemilikan hak pribadi dan hak keterasingan.
  3. Tahap ketiga : adalah tahap kebebasan yaitu apabila hak milik pribadi telah di hapus ( Magnis, 2000: 102)
Jadi system hak milik pribadi bukan sebuah “ kecelakaan” melainkan tahap yang pasti dalam perjalanan umat manusia ke tahap kebebasan. Tahap hak milik pribadi tidak dapat di hindari karena pembagian kerja juga tidak bisa dihindari. Hanya melalui pembagian kerja umat manusia dapat menjamin keberlangsungan hidupnya. Maka meskipun keterasingan manusia dinilai negative, tetapi keterasingan tersebut merupakan tahap yang harus dilalui oleh umat manusia.
Menurut Marx masyarakat masa depan yang di idealkan adalah komunisme. Seperti yang di kutip oleh Fromm dalam Manuskrip II, Marx menegaskan bahwa : komunismne merupakan penghapusan kepemilikan pribadi secara positif yang merupakan apresrasi nyata dari watak manusia melalui dan untuk manusia. Komunisme pengembalian manusia sebagai makluk sosial yaitu pengembalian yang lengkap dan sadar yang mencampurkan semua kekayang dan perkembangan sebelumnya. Komunisme sebagai naturalisme yang paling maju adalah humanisme, dan humanisme yang paling maju adalah naturalisme. Tentang struktur mana yang mendukung atau memajukan kebebasan tindakan mereka semua.
Patrick Gardiner (1985 : 123-124) mengatakan bahwa ungkapan filsafat sejarah menunjukkan kepada dua jenis penyelidikan yang sangat berbeda. Secara tradisional ungkapan tersebut telah digunakan untuk menunjukkan kepada usaha memberikan keterangan atau tafsiran yang luas mengenai seluruh proses sejarah. Filsafat sejarah dalam arti ini disebut “ filsafat sejarah formal atau spekulatif” yang secara khas berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “ apa arti (makna, tujuan ) sejarah? “atau hukum-hukum pokok mana yang mengatur perkembangan dan perubahan dalam sejarah?”. Diatara tokoh-tokoh utama yang paling mewakili tepri ini : Vico, Herder, Hegel, Comte, Marx, Tonybee dan lain-lain.
Secara modern ungkapan tersebut berarti suatu kritik terhadap filsafat sejarah formal atau spekulatif, terutama kritik dari sudut logika maupun metodologi. Filsafat sejarah dalam arti ini disebut dengan “ Filafat sejarah kritis” dengan tokohnya antara lain Popper.
David Bebbyngton (1979 :17-20) membagi filsafat sejarah ke dalam lima aliran yaitu :
  1. Aliran Siklus.
Yang berpandangan bahwa alur perkembangan sejarah itu tidak maju, tetapi selalu kembali seperti perputaran musim. Tokoh yang mewakili aliran ini adalah Nietzsche dan Tonybee.
  1. Aliran pemikiran yang khusus berhubungan dengan tradisi Yahudi dan Kristiani.
Aliran inn sangat dipengaruhi oleh pandangan agama. Sejarah tidak hanya dilihat sebagai siklus, akan tetapi juga sebagai gerak garis lurus. Tokoh yang bergabung dalam aliran ini adalah Agustinus dan Niehbuhr.
  1. Aliran pemikiran yang melihat perkembangan sejarah sebagai suatu proses yang bergerak secara linier kea rah kemajuan.
Filosof yang mewakili aliran ini adalah Comte.
  1. Aliran Historisme.
Aliran ini menolak keyakinan bahwa sejarah adalah linier. Menurut mereka perkembangan sejarah sangat di tentukan oleh berbagai factor dalam kebudayaan manusia.
Tokoh yang bergabung dalam aliran ini ialah Vico, Ranke, Collingwood.
  1. Aliran yang dipengaruhi oleh filsafat sejarah Marxisme
John Edward Sulivan ( 1970 : 265-290) dalam bukunya Propets of The Wesr ; An Intruduction to the Philosophy of History, mengatakan bahwa para filosof filsafat sejarah dalam pandangannya tentang sejarah berdasarkan pada situasi yang di hadapi pada waktu itu dan mencoba untuk memperlihatkan komunisme adalah solusi teka-teki sejarah dan mengetahui bahwa dirinya merupakan solusi ( Fromm, 2001:168). Komunisme
3. Filsafat Sejarah Auguste Comte
Auguste Comte ( 1798-1870) adalah pendiri aliran filsafat positivisme yang anti metafisisme. Ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif –ilmiah. Baginya tidak ada gunanya mencari “ kakekat” kenyataan. Hanya ada satu hal yang terpenting yaitu “ Savor p our prevour” ( mengetahui supaya siap untuk bertindak, mengetahui supaya manusia dapat menantikan apa yang akan terjadi) (Hamersma, 1983 :54). Manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan antara gejala-gejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.
Hubungan antara gejala-gejala oleh Comte disebut ‘konsep-konsep’dan ‘hukum-hukum’. Hukum-hukum bersifat ‘positif ‘. Positif dalam arti Comte adalah yang berguna untuk diketahui. Sejarah umat manusia, jiwa manusia, baik secara individual maupun secara kelompok berkembang menurut hukum tiga tahap, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak dan tahap positif atau riel ( Koento Wibisono, 1982 :11).
C. Metode Filsafat
Sebenarnay jumlah metode filsafat hampir saam banyaknya dengan definiusi para ahli dan filusuf sendiri karena metode adalah suatu alat pendekatan untuk mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangan filusuf itu sendiri.
Beberapa metode filsafat :
  1. Metode Kritis : Socrates dan Plato
Metode ini bersifat analisis istilah dan pendapat atau aturan-aturan yang dikemukakan orang merupakan hermenecetika yang menjelaskan keyakinan dan memperlihatkan pertentangan. Dengan jalan bertanya ( berdialog), membedaka, membersihkan, menyisihkan dan menolak yang akhirnya ditemukan hakikat.
  1. Metode Intuitif : Plotinus dan Bergson
Dengan jalan metode intuitif dan dengan pemakain symbol-simbol diusahakan membersihkan intelektual ( bersama dengan pencucian moral) sehingga tercapai suatu penerangan pemikiran. Sedangkan Bergson denga jalan pembaura antara kesadaran dan proses perubahan, tercapai perubahan, tercapai pemahaman langsung mengenai kenyataan.
  1. Metode Skolastik : Aristoteles, Thomas Aquinas, filsafat abad pertengahan.
Metode ini bersifat sintesis-deduktif dengan bertitik tolak dari definisi- definisi atau prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya ditarik kesimpulan-kesimpulan.
  1. Metode Geometris : Rene descarfes dan pengikutnya
Melalui analisis mengenai hal-hal kompleks dicapai intusi akan hakikat- hakikat sederhana ( ide terang da berbeda dengan lainya) dari hakikat-hakikat itu di dedukasikan secara matematis segala pengertian lainya.
  1. Metode Empiris : Hobbes, Locke, Berkeley, David Hume.
Hanya pengalamanlah yang menyajikan pengertian benar, maka semua pengertian ( ide-ide) dalam intropeksi di bandingkan dengan cerapan-cerapan ) impresi dan kemudian disusun bersama secara geometris.
  1. Metode Transendal : Immanuel Kant dan Neo Skolastik
Metode ini bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu dengan jalan analisis diselisiki syarat-syarat aprori bagi pengertian demikian.
  1. Metode Fenomenologis : Huserl, Eksistensialisme.
Yakni dengan jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction), refleksi atau fenomin dalam kesadaram mencapai penglihatan hakikat-hakikat murni. Fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan tentang segala sesuatu yang menampakkan diri atau membicarakan gejala. Hakeat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan. Menurut Huserl ada 3 macam reduksi yaitu :
    1. Reduksi Fenomenologis
    2. Reduksi Eidetis
    3. Reduksi Transendental
  1. Metode Dialektis : Hegel dan Marx
Dengan jalan mengikuti pikiran atau alam sendiri menurut triade tesis, antitesis, sintesis dicapai hakekat kenyataan. Dialektis itu di ungkapkan sebagai tiga langkah yaitu dua pengertian yang bertentangan kemudian di damaikan ( tesis-antitesis-sintesis)
  1. Metode non-Positif.
Kenyataan yamg di pahami menurut hakikatnya dengan jalan mempergunakan aturan-aturan seperti berlaku pada ilmu pengetahuan positif (eksata).
  1. Metode Analitika Bahasa : Wiittgenstern.
Dengan jalan analisa pemakaina baahsa sehari-sehari ditentukan sah atau tidaknya ucapan-ucapan filosofis. Metode ini dinilai cukup netral sebab sama sekali tidak mengendalikan salah satu filsafat. Keistimewaanya adalah semua dan hasilnya selalu didasarkan pada penelitian bahasa yang logis.
D. Objek Filsafat
Objek filsafat ini terdiri dari
1. Objek Meterial Filsafat.
Yaitu suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan atau hal yang di selidiki. Di pandang atau di sorot oleh suatu disiplin ilmu yang mencangkup apa saja hal-hal yang konkrit ataupun abstrak. Menurut Dr. H. A. Dardiri bahwa objek material adalah sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, kenyataan maupun yang ada dalam kemungkinan. Segala yang ada itu di bagi menjadi dua yaitu :
a. Ada yang bersifat umum (ontology ), yakni ilmu yang menyelidiki tentang hal yang ada pada umumnya.
b. Ada yang bersifat khusus yang terbagi menjadi dua yaitu ada secara mutlak ( theodicae) dan tidak mutlak yang trdiri dari manusia ( antropologi metafisik) dan ( kosmologi).
2. Objek Formal Filsafat.
Yaitu sudut pandang yang di tunjukkan pada bahan dari peneliti atau pemberntukan pengetahuan, suatu dari sudut mana objek material tersebut di pandang .
Contoh :
Objek materialnya adalah manusia ini ditinjau dari sudut pandang yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia diantaranya Psikologi, Antropologi, Sosiologi dsb
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ungkapan filsafat sejarah secara tradisonal adalah usaha untuk memberikan keterangan atau tafsiran yang luas mengenai seluruh proses sejarah.
2. Filsafat sejarah tidak hanya untuk memahami masa lampau dalam pandangan masa kini, akan tetapi juga berusaha untuk membuat proyeksi ke masa depan.
3. Aliran dalam pengkajian sejarah : filsafat sejarah Hegel, filsafat sejarah Karl Marx, filsafat sejarah Auguste Comte.
4. Metode-metode dalam filsafat : Metode Kritis, metode intuitif, metode sekolastik, metode geometris, metode empiris, metode transcendental, metode fenomenologis, metode dialektis, metode non-positifisme, metode analitika bahasa.
5. Objek dalam filsafat : Objek material filsafat, objek formal filsafat.
B. Penutup
Kami sadar dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dari para pembaca untuk perbaiakan yang akan dating.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar